Jumat, 29 Maret 2019

Pemilu Berkualitas

Sistem Pemilu Demokratis Oleh :Rahman Yasin ( Tenaga Ahli di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ) Senin tanggal (10/9/2012) kemarin Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) mengadakan penandatanganan Peraturan Bersama Kode Etik Penyelenggara Pemilu dan Pedoman Beracara Penyelenggaraan Pemilu serta MoU yang sudah dirumuskan tiga lembaga tersebut. Penandatangan dilakukan di Kantor KPU Jalan Imam Bondjol No. 29 Jakarta jam 10.30 Wib. Tiga lembaga ini setidaknya menunjukkan kepada publik bahwa ada semangat positif untuk membenahi kualitas demokrasi dalam konteks yang lebih sederhana melakukan penataan penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Tentu ini merupakan momentum yang sangat dinanti-nanti dan boleh dikatakan “sejarah baru” selama pasca reformasi. Reformasi telah melahirkan berbagai perubahan sistem politik yang cukup menggembirakan. Berbagai instrumen demokrasi dibentuk dengan maksud menata kualitas demokrasi dan dengan harapan setiap lembaga baru mampu menghasilkan solusi penyelesaian kebuntuan pembangunan nasional. Keberadaan lembaga-lembaga baru di era pemerintahan reformasi ditandai dengan empat kali amandemen UUD 1945 tetapi nampaknya dari sisi efektivitas dan efisiensi penyelesaian persoalan bangsa masih menjadi debatable. Karena realitas menujukkan kinerja lembaga-lembaga baru masihfariatif. Artinya, ada yang dapat bekerja efektif dan ada pula yang sebaliknya menambah persoalan baru dalam perspektif penataan sistem politik dan struktur ketatanegaraan kita. Maka tidak heran jika ada instrumen demokrasi yang bekerja efektif dan efisien sehingga eksistensinya di mata publik mendapatrespon positif, tetapi ada pula difungsikan menjadi pelengkap atau sekadar dimanfaatkan sebagai alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaan atasnama penataan demokrasi. Dan kenyataan inilah yang melahirkan persepsi publik sebagai politik akomodasi rezim yang tidak pada tempatnya. Tetapi dalam kerangka perbaikan penyelenggaraan pemilu keberadaan tiga lembaga ini menjadi begitu fital untuk difungsikan menjadi bagian inti dari perbaikan kualitas penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP adalah instrumen strategis yang diharapkan bisa memainkan peran berdasarkan tugas dan fungsi kelembagaan. Tetapi kebijakan kelembagaan saja tentu tidak cukup bila tidak didukung ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur. Pemilu Era Reformasi Bukan lagi menjadi rahasia umum (public secret) penyelenggaraan pemilu sejak era reformasi tahun 1999, 2004, dan 2009 masih jadi perbincangan politik yang kurang menyenangkan, kecuali pemilu 1999 yang boleh jadi cukup melegahkan semua pihak. Pemilu 1999 merupakan tonggak sejarah baru dalam berdemokrasi setelah melewati musim otoriter yang panjang dan keterjebakan rezim menerapkan sistem oligarki partai politik. Selama 32 tahun masyarakat Indonesia tidak menikmati kebebasan sehingga pemilu 1999 merupakan titik tolak demokratisasi yang menghantarkan bangsa kembali menemukan semangat keterbukaan. Secara umum pemilu 1999 yang diikuti 48 partai dengan digunakan sistem stembus accord dapat dikatakan lebih memenuhi syarat “free and fair election”,namun pelanggarandan muatan conflict of interest yang turut mengganggu independensi KPU tetap saja muncul. Kontradiksi penafsiran UU No. 3/1999 tentang Pemilu antara pemerintah dan KPU memicu ketidakkonsistenan penyelenggaraan pemilu dalam menyelenggarakan pemilu yang profesional. Jenis pelanggaran tata cara penyelenggaraan pemilu 694 (30,6%), sedangkan jenis pelanggaran tindak pidana pemilu 709 (31,33%),many politic 96 (4,2%) dan pelanggaran netralitas PNS 156 (7,06%). Dengan demikian akumulasi pelanggaran pada tingkat provinsi hingga 2261 dan proses penyelesiannya pun tidak efektif. Dari total kasus yang dilimpahkan ke pengadilan 4 (0,17%), ke Kepolisian 395 (17,4%), yang diselesaikan hanya 1862 (82,35%). Betapapun demikian, pemilu 1999 mendapat apresiasi yang tinggi dari berbagai masyarakat termasuk dunia Internasional. Pemilu 2004 diikuti 24 partai politik dan menggunakan sistem yang berbeda dari pemilu 1999. Pemilu 2004 menggunakan sistem proporsional terbuka untuk pileg sedangkan pilpres menggunakan sistem langsung (one man one voter). Pemilu 2004 menunjukkan tingkat partisipasi masyarakat yang tinggi. Masyarakat menggunakan hak pilih selama tiga kali pemilu yakni pileg, pilpres putaran pertama dan kedua tercatat 80% dan suara sah rata-rata 95% dari DPT yang ditetapkan KPU. Pelanggaran pemilu 2004 baik pemilu calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota mencapai 3.152 kasus pelanggaran tindak pidana pemilu, dan pemilu calon anggota legislatif 2009 meningkat jadi 6.019. Secara keseluruhan pelanggaran adminsitrasi pelaksanaan pileg 2009 dari semua tahapan pemilu sebanyak 420, dan yang diteruskan Panwaslu ke KPU 317 dan yang diselesaikan KPU hanya 129 kasus. Sedangkan pelanggaran administrasi pilpres sebanyak 81 dan ditindaklanjuti ke KPU hanya 76 dan yang sangat disayangkan tidak ada penyelesian secara tuntas. (Baca: Sisi Gelap Pemilu 2009; Potret Aksesori Demokrasi Indonesia). Pemilu 2009 diikuti 44 partai politik, 12.000 calon anggota DPR, DPD, dan 32.263 caleg DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dan pilpres satu putaran diikuti tiga pasangan calon presiden namun proses dan hasil pemilu 2009 menyisahkan berbagai kecurigaan politik. Dalam konteks tersebut, penyelenggaraan pemilu selama era reformasi sesungguhnya masih jauh dari cita-cita reformasi. Kebebasan demokrasi belum seutuhnya dimaknai secara sadar dan bijak oleh semua stakeholders. Semua pihak masih mengedepankan kepentingan pribadi, golongan, kelompok, dan organisasi termasuk partai politik yang sebetulnya berperan sebagai salah satu jalur politik pengkaderan pemimpin bangsa. Perilaku partai politik dalam merebut kekuasaan cenderung distrosif sehingga konsolidasi demokrasi yang sejatinya diarahkan untuk menciptakan keadilan jadi nihil. Merawat Komitmen Momentum penandatanganan peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP dan diperkuat dengan penandatanganan MoU sekurang-kurangnya membuktikan adanya kemauan dan komitmen bersama untuk menjalankan aturan main pemilu hendaknya mampu melahirkan kesadaran baru. Sebuah kesadaran etik untuk memuliakan perilaku sosial dalam konteks kehidupan berbangsa, dan bernegara, atau meminjam istilah Jimly Asshiddiqie, saatnya memperbaiki akhlak bangsa dalam tataran politik. Kesempatan emas ini sepatutnya tidak hanya menghasilkan konsensus baru tanpa follow up secara kongrit. Tetapi peristiwa kemarin dan ke depan dalam tahapan pelaksanaan pemilu 2014 publik menaruh harapan besar adanya tindaklanjut implementasi peraturan bersama tiga lembaga ini. Semua pemangku kepentingan yang menyaksikan penandatanganan bersama ini juga diharapkan bisa aktif mengawasi kinerjadi dalam penyelenggaraan pemilu 2014. Arsip Tulisan: Jakarta, 11 September 2012.

Minggu, 20 Januari 2019

Komunikasi Politik Indonesia

Komunikasi Politik Indonesia Oleh :Rahman Yasin (Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta) Pendahuluan Pada era modernisasi dan globaalisasi yang semakin menunjukkan tingkat kompetisi global terus keras dan tajam, ilmu komunikasi dituntut untuk menyajikan nilai-nilai transedental filosofis sebagai basis moral. Ilmu komunikasi juga dituntut untuk menjembatani para aktor politik yang dalam fase tertentu mengalami kebuntuan komunikasi terutama menyangkut persoalan kekuasaan, kewenangan politik dalam negara. Namun demikian, dalam berbagai peristiwa politik, seringkali ilmu komunikasi dihadapkan dengan berbagai macam tantangan. Diantaranya, praktik politik yang cendrung berorientasi kebendaan. Berhasil atau gagal seseorang, baik dalam konteks berpolitik maupun membangun integritas kepemimpinan ditengah masyarakat, sangat ditentukan bagaimana seseorang tersebut mampu mentransformasikan nilai-nilai komunikasi politik secara baik dan benar. Komunikasi merupakan salah satu factor penentu berhasil tidaknya orang dalam membangun citra baiknya di masyarakat. Karena melalui seni komunikasi politik yang efektif maka orang akan bisa memaksimalkan, memanfaatkan, dan menjadikan komunikasi sebagai alat membangun kepercayaan diri dengan publik luar. Pada awal kekuasaan rezim Orde Baru, terutama sebelum ditetapkan sistem dan peraturan tentang stabilitas sosial politik, bisa terlihat secara eksplisit di mana presiden Soeharto menempatkan kebijakan pembangunan ekonomi yang begitu kuat sehingga pembangunan di bidang ini mendapatkan porsi yang besar. Pembangunan politik yang didasarkan pada stabilitas sosial politik ternyata dimanifestasikan Presiden Soeharto sebagai basis penopang kekuatan ekonomi nasional. Alhasil, di satu sisi, terlihat akselerasi pembangunan ekonomi memenuhi target kemajuan yang kompetitif sesuai agenda Repelita yang ditetapkan pemerintah. Namun, pada sisi lain, percepatan pembangunan ekonomi yang dominan sebaliknya memperparah percepatan pembangunan di sektor lain, termasuk pembangunan di bidang pendidikan. Akan tetapi, tidak teori apapun, tidak bisa membantah keberhasilan presiden Seoharto dalam membangun sistem perekonomian nasional. Soeharto mampu menjadikan stabilitas politik sebagai pilar utama menjaga stabilitas ekonomi bangsa. Peran strategis stabilitas politik tidak serta merta mampu memperkuat legitimasi kekuasaan rezim karena dianggap mampu menciptakan stabilitas ekonomi nasional yang kuat tetapi juga sistem komunikasi kekuasaan rezim yang secara yuridis formal mampu mempertahankan presiden Soeharto untuk berkuasa selama kurang lebih 32 tahun. Komunikasi Politik Dalam Kajian Ilmiah Dalam kajian ilmiah klasik telah dikenal teori komunikasi politik. Sebuah teori ilmiah yang berlandaskan pada filsafat politik, yang umumnya dikonsepsikan oleh para ilmua. Sejak zaman Cicero, dan Aristoteles telah dikenal bagaimana dasar-dasar teori komunikasi itu dibangun. Komunikasi politik kemudian berkembang seiring kemajuan zaman, menjadi sebuah kajian ilmiah. Komunikasi politik sejak ada sejak manusia bersentuhan langsung dengan aktivitas politik. Komunikasi politik juga merupakan sebuah instrumen seni berpolitik dalam melakukan interaksi sosial antara satu aktor dengan aktor lain. Pertaanyaannya ialah apakah komunikasi politik ini telah menjadi suatu telaah ilmu secara spesifik, ataukah telah menjadi bagian dari kajian ilmu sosial politik maupun sebagai sebuah ilmu komunikasi? Apabila ditelaah lebih jauh, maka sebenarnya kehadiran konsep ilmu komunikasi ini masih relatif muda. Sekitar 60 tahun silam, dalam proses perkembangan dan kemajuan zaman yang terus bergerak menuju transisi demokratisasi, ilmu komunikasi politik kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar disiplin ilmu politik. Alwi Dahlan, menulis, bahwa komunikasi politik mulai berkembang dengan mengambil bentuk awal dalam kajian inti ilmu politik setelah peristiwa perang dunia I. Teori ini bisa dilihat dari perspektif umum tentang konsep konspirasi, rekayasa sosial, dan propaganda. Sementara itu, A. Muis menjelaskan bahwa terminologi komunikasi politik menunjuk kepada pesan sebagai suatu objek formalnya. Dengan demikian, titik tekan dari implementasi nilai-nilai politik ialah tidak terletak pada praktik politik formal maupun non formal, namun lebih ditekankan pada aspek komunikasinya. Artinya, secara kontekstual, praktik komunikasi yang dilakukan para aktor politik sebenarnya memuat pesan politik. Secara lebih spesifik dan proporsional, David V. J. Bell, mendefenisikan ilmu komunikasi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan-pesan politik. Dalam kerangka tersebut, maka komunikasi sesungguhnya telah memasuki bidang kajian politik karena dalam nilai-nilai komunikasi tidak secara parsial mengandung makna transcendental tetapi juga meliputi pengaruh akan kebijakan negara dan masyarakat secara luas. Melalui pendekatan komunikasi politik, aktor politik akan memainkan peran sebagai pihak apakah secara individu maupun sosial kelembagaan mempengaruhi pihak lain agar bisa mengikuti apa yang menjadi kebutuhan dan kepentingan yang dibawah. Komunikasi juga menjadi sarana paling efektif untuk membangun kerjasama antara masyarakat, baik yang tergabung dalam kelompok-kelompok tertentu maupun secara individu. Dari telaah kajian ilmiah filosofis politik, komunikasi jelas memiliki keterkaitan erat antara politik praktis dan konsep komunikasi. Hal ini karena politik merupakan kumpulan dari sebuah ideologi yang kemudian melahirkan pesan politik melalui komunikasi. Maka secara teoritik, politik mengandung makna komunikasi. Perbedaan pemahaman mengenai politik pun dalam studi klasif mengandung perbedaan-perbedaan. Apakah politik memiliki sumber otoritas yang dapat menentukan kebijakan negara atau politik hanya merupakan sebuah seni menyampaikan pesan kepentingan. Studi Pemikiran Politik Di Indonesia Potret politik Indonesia yang masih sarat dengan politik aliran dan primordialistik acapkali memicu komunikasi politik antar calon pemimpin dalam sebuah pertarungan meraih simpati selalu mendorong terjadinya eskalasi politik. Eskalasi politik cenderung hidup dalam suasana psikologi politik masyarakat yang kurang terbuka. Akibatnya komunikasi politik massa yang dibangun senantiasa bermuara pada mobilisasi massa. Komunikasi politik berbasis mobilisasi massa dalam konteks politik di Indonesia sampai pada era reformasi ini masih dipandang sebagai salah satu faktor yang efektif. Berbeda dengan pengalaman-pengalaman komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa, meskipun seni menyampaikan komunikasi politik di Amerika Serikat dan Eropa sangat ditentukan oleh personality. Dalam konteks Barac Obama misalnya, Obama mampu membangun sebuah seni komunikasi yang cukup komprehensif. Obama sangat memhami dan mengedepankan format komunikasi politik bersifat responsif. Obama tidak saja menyampaikan nilai-nilai demokrasi berbasis normatif tetapi kontekstualisasi komunikasi politik yang dikembangkan Obama untuk mempengaruhi masyarakat sarat konsep. Obama mampu merangkaikan kalimat-kalimat serta meyakinkan audensi ketika menyampaikan visi misi pembangunan masa kepemimpinannya. Obama mampu melakukan transformasi ide dengan mengurai gagasan-gagasan prospektif kedalam pemikiran-pemikiran publik. Komunikasi politik Obama, baik bersifat audiovisual, verbal, maupun nonverbal, sangat memukau masyarakat. Pendekatan komunikasi politik massa yang dilakukan Obama dalam kampanye sangat memicu psikologi masyarakat multikelas sehingga setiap gagasan yang disampaikan selalu mendapat perhatian yang baik dari masyarakat. Dalam menyampaikan gagasan-gagasan Obama selalu memperhatikan semua atuan main berdasarkan kondisi psikologi massa. Penyampaian visi misi kadang panjang penguraiannya, namun dalam mengambil kesimpulan, Obama sangat disiplin. Keteraturan waktu serta memanfaatkan peluang menyampaikan materi kampanye secara ringkas, padat, dan substantif sehingga umumnya pesan kampanye Obama akan lebih mudah diresapi, dan ditanggapi positif oleh publik. Dalam konteks politik Indonesia, menurut seorang antropolog, Edward T. Hall (1979), menyebutkan bahwa, bangsa Indonesia masuk dalam kategori kelompok high contect culture dalam komunikasi. Budaya high context cendrung diberi makna yang sangat tinggi. Sebuah masyarakat yang kurang menghargai ucapan, atau bahasa verbal. Artinya, setiap tokoh yang mampu tampil penuh meyakinkan, dan berusaha menggugah pemikiran masyarakat secara konstruktif selalu dianggap sebagai calon yang aneh. Setiap cara calon dalam menyampaikan, atau mengungkapkan visi, misi, maupun program secara meyakinkan selalu dianggap kontraproduktif. Sangat berbeda dengan masyarakat Amerika Serikat dan Eropa yang pada umumnya memiliki low context culture. Sebuah masyarakat yang modern --- masyarakat yang tidak saja melihat calon pemimpin dalam menyampaikan visi misi dan program bersifat komunikasi nonverbal seperti melalui audiovisual tetapi juga penyampaian secara langsung. Karena lewat pengungkapan langsung itulah masyarakat modern akan melihat eskpresi dan keinginan dari setiap calon pemimpin. Dalam kerangka politik Indonesia, hampir tak bisa dipungkiri bahwa peta studi pemikiran politik di Indonesia tidak lepas dari hasil kajian pemikiran Herbert Feith dan Lance Castles yang menggambarkan kondisi sosiologis antropologis masyarakat Indonesia dengan berdasarkan politik aliran yang berkembang sejak pra kemerdekaan Indonesia. Dalam berbagai studi akademis, tentang pergulatan pemikiran politik di Indonesia, Feith dan Castles mampu memberikan stigma pemikiran politik di Indonesia yang kuat hingga mewarnai studi pemikiran politik Indonesia. Faith dan Castles mengklasifikasikan tiga kelompok utama yang turut aktif memainkan peran politik nasional. Ketiga kelompok tersebut, pertama kelompok yang disebut sebagai santri tradisionil, kelompok kedua santri modern, dan kelompok ketiga santri bangsawan. Ibnu Taimiyyah dalam karyanya al-Siyasah al-Syar’iya (Sistem politik Syar’iah, Pemerintah Syari’ah), secara lebih gambling, Ibnu Taimiyyah menggunakan istilah wilayah, yang didefenisikan sebagai sebuah fungsi pertaanggungjawaban, bukan dengan menggunakan istilah tradisional yakni kekuasaan. Wilayah mengandung pengertian berupa penekanan tentang tugas dan fungsi setiap umat manusia sebagai khalifah di muka bumi. Istilah kekuasaan tentu meliputi urusan-urusan pemerintahan Negara sehingga penggunaan istilah wilayah sebetulnya lebih dimaksudkan bahwa setiap orang yang diberikan amanat dalam kapasitas apapun hendaknya dikerjakan penuh tanggungjawab. Sedangkan teori politik Islam klasik dari perspektif teologi politik kaum Sunni mengambil bentuk dalam kondisi di masa daulat Abbasiah. Meskipun realitas sejarah dan politik dari kehidupan Khilafah sering menghadapi persoalan-persoalan perdebatan teologi politik dari kerang idea Islam, namun demikian setiap proses politik hendaknya didasarkan pada prinsip-prinsip identitas politik Islam yang tetap memiliki kaitan erat dengan syari’ah. Ada suatu terobosan fenomenal yang selama ini mungkin dilupakan oleh kalangan pemikiran politik Islam, adalah bahwa dalam proses perjalanan, konstruksi teori politik Islam tidak pernah mengalami pergeseran. John L. Esposito, menulis dalam karyanya, politik Islam, mengatakan, konsep politik Islam yang idea meskipun pengertiannya seringkali mengaburkan banyak realitas, namun secara umum, mampu memberikan kontribusi positif terhadap generasi-generasi berikut, termasuk generasi yang menjadikan agama sebagai basis gerakan pembaruan moral bangsa. Efek kehadiran kelompok yang mampu menggerakan semangat agama sebagai basis perbaikan system politik di setiap Negara ini juga terlihat terjadi di Indonesia. Para aktivis politik Islam berusaha keras untuk membangun citra politik Islam yang selama beberapa abad tenggelam akibat kuatnya penampilan ideologi-ideologi lain seperti kapitalisme, dan komunisme. Aktivis politik Islam terus berpacu dalam dimensi pembaruan, di mana ada semacam keinginan kuat untuk mengejar keterbelakangan dengan mempertautkan dasar-dasar politik Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di akhir abad XIX bahkan memasuki abad XX, pergulatan wacana politik Islam terkait dengan studi tentang Islam dan negara terus mengalami kemajuan pesat. Minat dan perhatian kalangan cendikiawan, dan intelektual Islam --- termasuk intelektual muda Islam Indonesia turut meramaikan perbincangan penting tidaknya kehadiran sistem negara yang menjadikan nilai-nilai sosial yang terkandung dari agama sebagai legitimasi kebijakan pembangunan negara. Islam dan negara mendapat tempat perbincangan yang cukup dominan dari perspektif wacana pembaruan sistem politik nasional. Islam dan semangat nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya semakin meraih simpati kalangan intelektual muda untuk mengangkatnya sebagai wacana komprehensif dalam proses reformasis sistem politik negara. Perbincangan Islam dan negara, misalnya, diramaikan oleh tokoh intelektual muda Indonesia, antara tahun 1970-an, hingga sekarang, misalnya, M. Room, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Munawir Syadzali, hingga Azyumardi Azrah, Komaruddin Hidayat, Bachtiar Effendy, Anis Baswedan Yudi Latif, dan lain-lain. Cak Nur misalnya, menegasikan pemikiran politiknya melalui seorang tokoh pemikir politik Islam terkemuka, yakni, Ibnu Taimiyyah. Dalam menulis kata pengantar buku Fiqih Siyasah yang ditulis, M. Iqbal (2001), Cak Nur, menyebut, negara Madinah pimpinan Nabi Muhammad Saw, sebagaimana yang dikatakan Robert N Bellah, adalah sebuah negara yang mencerminkan korelasi antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun, seorang pemikir politik Islam kontemporer menyebut bahwa, ikhtiar Nabi Muhammad dalam membangun tradisi bernegara dalam kondisi Madinah ketika itu menunjukkan bahwa sebuah “eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah tersebut merupakan titik tolak bahkan menjadi suatu personifikasi Muhammad tentang sistem pemerintahan atau suatu tatanan sosial politik berdasarkan nilai-nilai Islam. Dalam eksperimen bernegara tersebut, Muhammad memperlihatkan bagaimana suatu sistem sosial politik itu dibangun berdasarkan landasan nilai-nilai kebaikan universal yang terkandung didalam agama Islam. Dalam konsep negara Madinah terdapat adanya pendelegasian wewenang, pembagian otoritas kekuasaan yang secara konseptual terjadi pembagian kekuasaan. Pembagian kekuasaan dimaksudkan agar tidak terjadi sentralisasi kekuasaan yang acapkali dalam praktik bernegara seringkali memicu konflik politik akibat tidak terkelola potensi konflik politik aliran. Dalam konteks kajian politik berbasis nilai-nilai agama, maka politik sesungguhnya adalah suatu seni dan sekaligus suatu metode untuk melaksanakan tugas maupun fungsi baik secara individu maupun struktur sosial untuk mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya, keluarga, dan kalangan masyarakat luas. Politik merupakan bentuk aksi yang dilakukan para politikus, sehingga ia disebut sebagai “memolitisasi binatang untuk menggambarkan bahwa politikus menaiki dan menundukkan binatang. Di Indonesia, sejak permulaan era Orde Lama berkuasa, komunikasi politik dalam konteks membangun kekuatan negara melalui elemen-elemen penting boleh dikatakan dapat berjalan baik, meski dalam sejarah kita temukan ada peristiwa-peristiwa polarisasi. Perbedaan ideologi negara yang semula menjadi perdebatan sengit dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dapat diselesaikan dengan penuh kekeluargaan. Adalah komunikasi antar semua stakeholders baik dalam membangun persamaan persepsi sehingga semua perbedaan yang timbul ketika itu bisa dikelola secara komprehensif. Perbedaan tajam yang sempat mengancam integritas NKRI, yakni menyangkut konsep ideologi bangsa. Ada kelompok yang mendukung agar negara berideologikan Pancasila, dan UUD 1945, ada kelompok yang mendukung sistem pemerintahan negara yang bersifat demokratis, ada yang mendukung sistem negara liberal, ada kelompok yang memperjuangkan negara berdasarkan sistem pemerintahan feodalisme, ada lagi kelompok yang menghendaki agar Islam sebagai ideologi negara, dan ada juga yang menghendaki agar Indonesia berdasarkan sistem otokrasi. Sikap bijak dan konsep komunikasi politik yang bijak dan komunikatif yang diterapkan Soekarno dan Muhammad Hatta serta tokoh-tokoh lain sebagai representasi masing-masing kekuatan dalam memahami perbedaan ini, mampu melahirkan kesamaan persepsi antar mereka sehingga perbedaan yang semula dianggap menjadi pemicu untuk menghambat proklamasi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi cair. Era kekuasaan Orde Baru, komunikasi kekuasaan politik sangat tertutup. Hampir semua pusat kekuasaan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif, bahkan lembaga-lembaga negara tidak terlihat adanya suatu suasana komunikasi yang bersifat terbuka dan demokratis. Panglima Tertinggi Negara (Presiden) menjadi pusat utama proses transformasi komunikasi kekuasaan politik, ekonomi, pendidikan, hokum, dan sosial budaya. Rezim Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun menerapkan sistem kekuasaan yang sangat otoriter. Demokrasi Pancasila hanya sebagai alat pemanis politik kekuasaan rezim sehingga praktis tidak tercipta iklim demokrasi yang betul-betul menempatkan hak-hak politik rakyat secara adil dan terbuka. Demokrasi yang semula diharapkan menjadi instrumen penting untuk membangun peraadaban politik bangsa yang modern tidak dijalankan dengan baik oleh penguasa. Komunikasi politik kekuasaan lintas lembaga pun praktis tidak berjalan baik karena sistem komunikasi satu arah, yakni hanya didominasi oleh eksekutif, lembaga legislatif dan yudikatif berperan sebagai pelengkap sistem bernegara sehingga pelanggaran-pelanggaran nilai politik pun tidak terhindari. Namun demikian, bukan berarti, pola komunikasi kekuasaan politik di masa pemerintahan Orde Baru tidak mampu melahirkan nilai-nilai kemaslahatan publik. Sisi positif yang dapat dilihat dari pola komunikasi politik kekuasaan yang efektif pada era Orde Baru ialah, kemampuan negara dalam mengorganisir semua kekuatan elemen bangsa ke dalam satu komando. Di satu sisi, kebebasan rakyat dalam berekspresi, berkelompok, berserikat, dan menentukan preferensi politik tidak ada, tetapi di sisi lain tingkat kesejahteraan masyarakat terlihat cukup baik. Kegagalan rezim Orde Baru ialah tidak menjalankan demokrasi secara baik, sedangkan kesuksesan rezim Orde Baru yang paling diakui masyarakat ialah konsisten mengutamakan stabilitas politik sehingga stabilitas ekonomi menjadi sangat kuat. Stabilitas politik dilihat dari jargon pemerintah yang tertuang dalam Trilogi Pembangunan --- meliputi stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, dan pemerataan pembangunan. Nasionalisme dan Komunikasi Media Hampir setiap tahunnya, nuansa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 seringkali disertai dengan aktivitas-aktivitas seremonial yang kadang cenderung tidak memiliki nuansa filosofi historis dibalik perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Momentum hari bersejarah di tengah krisis integritas teritorial dan krisis kepercayaan rakyat terhadap para elit pemimpin bangsa nampaknya masih memperlihatkan betapa dimensi historis ini masih tetap memberikan arti ikatan emosial plus sosial politik sebagai perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tanggal 17 Agustus 1945 memiliki kisah historis-filosofis tersendiri bagi warga masyarakat Indonesia. Dimensi historis-filosofis itulah para the founding fathers melalui Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta berusaha keras mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang tidak saja jadi harapan para pejuang tapi dambaan para pemuda yang punya rasa sense of belonging untuk membentuk negara Indonesia secara berharkat dan bermartabat. Segenap the founding fathers dan pemuda menghendaki agar kemerdekaan Indonesia segera diumumkan untuk menghindari kesan negatif kalau kemerdekaan Indonesia lebih sebabkan oleh pemberian atau hadiah dari penjajah. Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta sebagai simbol revolusi kemerdekaan pun dipaksa --- ditekan oleh para pemuda ketika itu yang menghendaki supaya proklamasi kemerdekaan Indonesia dilakukan sebelum penjajah keluar dari bumi Indonesia. Detik-detik yang sangat menentukan peristiwa proklamasi kemerdekaan diwarnai perdebatan antara kelompok tua dan para kelompok muda yang sudah tidak sabar. Terbukti dua hari menjelang proklamasi, Soekarno dan Hatta diculik oleh sekelompok anak muda dan dibawah ke Rengasdengklok yang pada intinya mempercepat proses pengumuman kemerdekaan. Sikap para pemuda ini jelas merupakan refleksi rasa nasionalisme kebangsaan akibat penindasan dan pengeksploitasian yang dilakukan kaum penjajah sehingga memunculkan kesadaran kolektif untuk bersatu dan berdaulat dalam bingkai NKRI. Dan usaha para pemuda ini menemukan hasilnya, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945 lewat Soekarno dan Hatta, akhirnya proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dikumandangkan. Nasionalisme kaum pemuda yang ditampilkan seperti ini sesungguhnya merupakan suatu kesadaran sekaligus awal dari sebuah proses untuk membangun komitmen moral kebangsaan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita kehidupan nation states yang lebih baik. Dalam catatan Ensiklopedia Britanica, dapat dipahami bahwa rasa nasionalisme merupakan jiwa, yang menempatkan setiap induvidu merasa untuk memiliki keduniawian atau konteks sekarang identik dengan paham sekuler yang menjadikan liberalisme dan kapitalisme sebagai dimensi tertinggi negara kebangsaan. Sedangkan dalam formulasi International Encyclopedia of Social Science, nasionalisme dapat dipahami sebagai suatu ikatan politik yang mampu mengikat satu kesatuan dari seluruh elemen masyrakat yang plural, modern sekaligus memberikan determinasi legitimasi terhadap tuntutan kekuasaan. Atau dalam logika Huscer dan Stevenson, nasionalisme, artinya memiliki rasa cinta yang secara natural kepada tanah air di mana setiap induvidu dilahirkan. Pendapat lain yang dikemukakan Hans, nasionalisme sebagai wujud cita-cita bahkan bisa berupa suatu keadaan alias gejala jiwa baik secara induvidu maupun secara struktur sosial yang memiliki model maupun bentuk tertentu dari suatu entitas atau institusi politik bangsa yang merupakan sumber inspirasi akan potensi kebudayaan dalam menciptakan iklim kesejahteraan ekonomi yang lebik kondusif. Dalam bukunya, Di Bawah Bendera Revolusi, Soekarno memberikan pengertian nasionalisme sebagai suatu upaya terjalinnya rasa ingin bersatu, perasaan, perangai, dan nasib, serta persatuan antara orang dan tempat. Pertanyaannya, apa yang menyebabkan rapuhnya rasa nasionalisme pemuda masa sekarang? Di mana peran negara dalam mengatasi krisis nasionalisme pemuda? Menjawab pertanyaan ini tentu harus dilihat dari berbagai konteks multidimensional. Karena banyak faktor yang jadi pemicu krisis nasionalisme pemuda zaman sekarang. Krisis multidimensional telah mampu menggerogoti dimensi nasionalisme kebangsaan pemuda terutama dalam kurun masa transisi reformasi dan demokratisasi. Demokrasi dan hak asazi manusia (Ham) telah menjadi tema sentral dalam berbagai diskurus. Keberhasilan pembangunan khususnya dalam membongkar mitos kediktatoran rezim masa lalu setidaknya memberi ruang gerak bagi demokratisasi, walau dalam hal tertentu demokrasi selalu bersikap ambigiu sehingga proses pembentukan karakter pemuda cenderung berdasarkan simbol-simbol kebebasan dan kemerdekaan yang berlebihan atau yang lazim disebut reformasi kebablasan. Perilaku menyimpang sebagai pintu masuk kerusakan moral terus mengalami peningkatan. Transformasi informasi dan komunikasi yang begitu pesat membuat para pemuda semakin kehilangan makna identitas. Kemajuan ilmu dan tekhnologi disatu sisi menguntungkan umat manusia, tetapi, di sisi lain dapat berimplikasi negatif. Peran Media Perkembangan informasi dan kemajuan tekhnologi terutama melalui peran pers yakni media massa sangat menentukan bagi proses pembentukan karakter kebudayaan bangsa. Jika pers memiliki visi nasionalisme kebudayaan nasional yang tinggi maka lambat laun masyarakat termasuk pemuda akan cenderung kepada apa yang menjadi rasa tanggung jawab sosialnya terhadap bangsa dan negara. Pers sebagai salah satu pilar demokrasi semestinya mampu memainkan peran strategis konstruktif dalam membentuk karakter masyarakat. Pers sebagai lembaga sosial yang memiliki sifat-sifat kelembagaan (institusional character) sekaligus sebagai lembaga ekonomi atau perusahaan yang merupakan bagian inti suatu industri jasa seyogyanya tidak sekadar mengejar keuntungan semata tetapi bagaimana pers mampu mentransformasikan kelembagaannya sebagai institusi pendidikan yang dapat merubah pola dan perilaku masyarakat secara komprehensif. Dengan demikian, pers bisa menempatkan dirinya sebagai institusi sosial kontrol sekaligus sebagai lembaga pengemban dan pengubah sistem kehidupan yang lebih teratur dan sistematis. Tetapi, kecenderungan dan realitas sosial kontemporer justru menunjukkan fakta sebaliknya, beberapa perusahaan industri pers telah disalahgunakan oleh pemilik media tertentu. Fenomena ini bisa menimbulkan krisis nasionalisme pemuda masa sekarang. Kecenderungan beberapa stasiun Televisi swasta yang menyuguhkan program hiburan berupa sinetron seringkali kurang memiliki syarat pendidikan. Nilai-nilai kebudayaan justru didistorsi melalui media yang didasari dengan keadaan pikiran yang oleh Johan Huizinga disebut sebagai “kekanak-kanakan.” Di mana manusia dewasa ini cenderung bertindak kekanak-kanakan, dalam konteks negatif berdasarkan pertumbuhan mental: hiburan sinetron yang terkesan perilaku kepalsuan dan sikap asli yang dipaksakan, rasa humor yang tidak sesuai sikap asli, kebutuhan sensasi-sensasi murahan, kecenderungan kepada parade-parade massa, bahkan personifikasi ekspresi kebencian, cinta, pujian dan kutukan juga terlihat sangat berlebihan. Ramuan program TV menyuguhkan sinetron yang syarat dengan perilaku kekerasan rumah tangga, kekerasan sosial ekonomi bahkan kekerasan psikologis yang dipaksakan bisa menjadi akses bagi kerusakan pertumbuhan mental generasi muda bangsa. Peran ganda pers terutama media elektronik sekarang ini berpotensi menghidupkan tradisi paradigma global capitalist system yang dalam perspektif kultur mengarah pada fashioned culture yang notabene disokong oleh ideologis kapitalistik yang tidak terlepas dari peran ganda negara. Dari sisi, jelas krisis nasionalisme akan muda terjadi dan pada gilirannya memunculkan konflik ideologis parsial. Menjadi media yang profesional tidak selalu menghadirkan program-program yang selalu bersentuhan dengan nuansa-nuansa perkembangan globalisasi demografi yang pada hakekatnya bertentangan dengan nilai-nilai kebudayaan kebangsaan nasional. Sayangnya, kecenderungan dan realitas perkembangan media sekarang sudah mulai berorientasi pada kompetisi keuntungan ekonomi sehingga peran profesional media yang diharapkan bisa menjadi salah satu faktor penunjang dalam mewarnai dinamika sosial kebangsaan terus mengalami degradasi. Maraknya tayangan beraroma mistik dan sinetron-sinetron dengan menampilkan kehidupan berbasis sekular-materialistik sudah barang tentu selain tidak mendidik juga sangat tidak memiliki esensi moralitas dalam membentuk eksistensi bangsa. Peran Negara Dalam menyikapi problematika sosial kebangsaan yang kompleks terutama krisis nasionalisme pemuda yang makin hari makin meresahkan, maka negara sebagai kesatuan tatanan (unity of order) --- kesatuan formal yang menjadi obyek dari formulasi kebijakan secara rasional-idealistik, walau dalam kesatuan tidak menciptakan substansi baru, namun dengan kekuatan kekuasaan yang legitimic harus mampu melakukan tindakan-tindakan persuasif bahkan perlu tindakan preventif (self-motivated action) guna menciptakan rasa nasionalisme akan kebangsaan. Secara sosio-historis, artikulasi nasionalisme yang sudah diletakan para the founding father yang notabene adalah para tokoh intelektual muda yang di awal abad 20 ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo (1908). Nasionalisme kebangsaan juga bangkit melalui gerakan yang dipelopori Wahidin Soedirohoesodo, Soetomo, HOS Tjokroaminoto, hingga generasi yang lebih muda seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, SM Kartosoewirjo, Tan Malaka, dan masih terdapat banyak tokoh muda yang menginspirasi hadirnya kemerdekaan. Gerakan kaum intelektual muda menanam rasa nasionalisme juga sudah terjadi sejak tahun 1928. Di mana para pemuda berkumpul merumuskan gagasan identitas nasionalisme kebangsaan melalui dokumen Sumpah Pemuda tepatnya tanggal 28 Oktober 1928 yang hingga sekarang masih diperingati sebagai hari lahirnya sumpah pemuda. Dalam konteks itu, memaknai nasionalisme kebangsaan nation states, Pemerintah sebagai pembuat regulasi harus menciptakan sistem sosial yang mendukung masyarakat dalam mengartikulasi kemerdekaan dan kebebasan, termasuk pers sebagai penyebar informasi dilakukan secara konstruktif dan proprsional. Kebebasan dan kemerdekaan tidak boleh dimonopoli oleh pers tertentu yang cenderung menampilkan aneka pornografi dan pornoaksi yang pada gilirannya mengancam kerusakan moralitas pemuda masa kini ditengah kegamangan globalisasi dan westernisasi. Dalam konteks tersebut, peran dan transformasi nasionalisme pemuda atas semangat kebangsaan merupakan suatu keniscayaan agar nasionalisme kaum pemuda masa kini tidak jadi tanda tanya atau mungkin lebih radikal “digugat”. Titik sentral dekonstruksi paradigma destruktif sekaligus merekonstruksi pemikiran pemuda masa kini yang lebih bermuatan nilai-nilai kebhinekaan juga merupakan suatu keniscayaan. ___________________________________ Catatan: Arsip Tulisan Artikel Lepas Oktober 2011.   Daftar Pustaka Ali Masykur Musa, Magnitude Komunikasi Politik Obama, http://andika-artikel.blogspot.com/2008/11/magnitude-komunikasi-politik-obama.html. Anwar Arifin, Komunikasi Politik dan Pers Pancasila; Suatu Kajian Mengenai Pers Pancasila, Penerbit, Media Sejahtera, Jakarta, 1992. Yusuf Al-Qardhawi, Legalitas Politik, Dinamika Perspektif Nash dan Asy-Syariah, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2008. Ibnu Taimiyyah, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah, Pustaka, Bandung, 2001. John L. Esposito, Islam dan Politik, Bulan Bintang, Jakarta, 1990. Koran Republika, Kamis, 16 Juni 2011, Orde Baru, hlm. 24.

Selasa, 25 September 2018

Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Norma

Penguatan Sistem Etika Dalam Pemberantasan Korupsi Oleh: Rahman Yasin (Dosen di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta) Mengapa korupsi tidak mudah diberantas? Mungkinkah agama memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi agama pun terjadi korupsi? Mungkinkah lembaga penegakan hukum dan peradilan memberantas korupsi sedangkan dalam organisasi mereka juga terjadi korupsi yang paling hebat? Dapatkah organisasi pemerintahan menjadi bersih sedangkan pemimpin dan pemerintah itu korup? Lalu apa relevansinya pembangunan sistem etika (kode etik) dalam praktik kehidupan bernegara di dunia modern sekarang ini? pertanyaan-pertanyaan ini memang boleh dikatakan sangat profokatif, namun sekurang-kurangnya pertanyaan-pertanyaan tersebut mengajak kita semua untuk berpikir secara kritis dan melakukan refleksi sosial terhadap problematika sosial kebangsaan kita sekarang yang dirasakan semakin jauh dari nilai-nilai etika kehidupan berbangsa. Tulisan ini tentu tidak secara utuh mengulas jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, akan tetapi saya ingin mengetuk pintu hati kita semua dan mencoba mengajak kita semua untuk sedikit melihat kondisi faktual terkait krisis kehampaan etika sosial dan secara bersama-sama mengajak kita semua mencarikan jalan keluar untuk mengatasinya tentu dengan perspektif pemahaman kita mengenai sistem etika dalam kehidupan bernegara. Agama bisa membantu memberantas korupsi, dengan catatan metode yang dipakai itu benar. Seringkali agama menggunakan cara yang salah. Kita mulai dengan fakta tentang statistik negara-negara korup dan bersih di dunia. Yang lebih menggelisahkan, manakala kita mencermati para koruptor, kita melihat mereka gemar berbaju dan berbahasa religius, seolah hidupnya bersih. Mungkin agama bagi mereka hanya sekadar kedok untuk menutupi keburukan perilaku mereka. Mungkin juga perilaku yang nampak agamis tetapi sekadar jadi hiburan yang menenteramkan pikiran para pelaku koruptor. Malah mungkin saja ada koruptor yang berpura-pura religius; mencoba menipu Tuhan dan menipu dirinya seakan dosanya bisa diampuni dengan kegiatan amal dan perilaku religius serta menyumbang sebagian hasil korupsi untuk amal. Padahal, Tuhan tidak bisa ditipu. Memang, meskipun kita semua sepakat korupsi merupakan hal yang negatif, sejumlah peneliti menemukan “manfaat” dari praktek korupsi bagi masyarakat. Menurut Sun Yan, ahli politik Asia di City University of New York, di banyak negara Asia, terutama China, korupsi membuka jalan bagi kelompok-kelompok masyarakat marjinal untuk mengakses dan memperoleh bagian dari sumber-sumber daya negara. Sebagaimana ditulis Britta Hilstrom dalam Effects of Corruption on Democracies in Asia, Latin America, and Russia (September 1997), Sun Yan mengungkapkan, “Korupsi menyajikan ruang gerak dengan menawarkan perangkat bagi orang-orang yang berada di luar sistem, baik untuk menghindari kontrol pemerintah maupun untuk mencari keuntungan dari kontrol pemerintah ini.” Karena dirasa ada manfaatnya, pendapat Sun Yan itu lalu dijadikan pembenar atau legitimasi. Malah yang lebih ngeri, legitimasi itu kadang juga dicari-cari tambahannya dari sumber agama meskipun semua agama sebenarnya mengutuk korupsi. Para koruptor mempunyai penafsiran sendiri akan keyakinan agamanya untuk membenarkan praktek korupsi yang telah dan akan dilakukan. Banyak koruptor kita entah muslim atau kristiani mempunyai keyakinan bahwa dosa akibat korupsi mereka bisa diputihkan atau diampuni Tuhan, semisal dengan tindakan ritual atau amal. Dalam konteks ini, tepat pendapat cendekiawan muslim Abdul Munir Mulkan bahwa kekayaan ilmu agama sering mempermudah seseorang memanipulasi tindakan kesalehan hanya untuk memutihkan perilaku maksiat dengan matematika pahalanya. Jadi, para koruptor yang agamis semacam itu justru kurang ajar sekali karena sepertinya mereka malah berani menyuap Tuhan sendiri. Jelas penafsiran akan model pemutihan seperti itu merupakan penafsiran sangat banal sehingga korupsi, seperti kata aslinya dalam bahasa Latin corrumpere (berarti membusukkan), benar-benar akan membusukkan mentalitas dan spritualitas kita yang masih mencoba memakai nalar sehat. Prognosis Syed Hussein Alatas, korupsi yang menggurita dan melembaga akhirnya hanya akan membusukkan, menggerogoti habis, dan menghancurkan masyarakatnya sendiri (self-destruction). Ideologi uang yang begitu dominan telah membuat sebagian orang Indonesia, di antaranya para koruptor, tidak lagi menyakini sila pertama Pancasila: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebaliknya berkeyakinan pada “keuangan yang mahakuasa”. Pendapat seperti itu sebenarnya bukan baru lagi, karena sejak era Yunani kuno, para filsuf sudah mengingatkan the love of all money is the root of all evil atau cinta akan uang merupakan akar dari semua kejahatan (Bdk I Timothy 6:10). Anthony Simson dalam The Midas Touch (1991) membeberkan sesungguhnya posisi agama konvensional saat ini suka atau tidak memang telah dipinggirkan oleh agama uang (religion of money). Karena itu, boleh jadi agama yang dianut para koruptor memang agama uang, bukan agama sejati seperti Islam atau Kristen. Agama sejati seharusnya menjadi inspirasi agar perilaku kita bersih, ada satunya kata dan perbuatan. Namun, agama tak bisa dipersalahkan dalam masalah korupsi ini. Bahkan, mungkin agama tidak ada kaitannya dengan maraknya korupsi di negeri ini. Solusi utama pemberantasan korupsi ada pada penegakan hukum positif kita. Namun, bila orang tidak takut dan menghormati hukum positif ini, ya kita serahkan para koruptor pada hukum Tuhan pada saat mereka meninggal nanti. Pelaksanaan pidana penjara di Indonesia yang diatur dalam Undang-undang No. 15 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan perubahan secara yuridis filosofis dari sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan. Sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial, agar narapidana menyadari kesalahannya, tidak lagi berkehendak untuk melakukan tindak pidana dan kembali menjadi warga masyarakat yang bertanggung jawab bagi diri, keluarga, dan lingkungannya. Namun dalam kenyataannya, pidana penjara yang merupakan salah satu jenis sanksi pidana yang paling sering digunakan sebagai sarana menaggulangi masalah kejahatan dewasa ini posisinya cenderung mengalami degradasi, karena mendapat tantangan dan tekanan dari berbagai kalangan. Pidana penjara sekarang mulai pudar pamornya, justru akibat yang ditimbulkan, seperti mencetak penjahat-penjahat baru dan lebih berbahaya, selain itu pidana penjara juga menunjukkan kelemahan-kelemahan, yaitu menciptakan dehumanisasi maupun desosialisasi, yang dialami mantan narapidana. Dalam Islam sendiri esensi dari pemberian hukuman bagi pelaku suatu jarimah menurut Islam adalah pertama, pencegahan serta pembalasan (ar-rad'u wa az-zajru) dan kedua, adalah perbaikan dan pengajaran (al-i amplah wa al-tahzib). Berangkat dari paradigma diatas maka menghasilkan pemahaman bahwa pelaksanaan pidana penjara dengan sistem pemasyarakatan adalah sesuai dengan tujuan pidana dalam hukum pidana Islam dan pelaksanaan pidana penjara yang berlaku di Indonesia belumlah se-efektif yang diinginkan, ini terbukti dengan semakin menigkatnya tindak kejahatan dimasyarakat dan masih besarnya kesan buruk masyarakat terhadap para mantan narapidana. Reartikulasi Nilai-nilai Etika dan Moral dalam Praktik Kehidupan Berbangsa Dalam diskursus nilai moral setidaknya terdapat dua pendapat yang berkembang tentang nilai moral, yakni moral dan nonmoral. Nilai moral merupakan manifestasi dari kejujuran, tanggungjawab, dan keadilan yang menuntut setiap pribadi untuk berkewajiban menunaikan semacam jani apabila berjanji, membayar hutang apabila berhutang, mengurus tanggungjawab sosial serta senantiasa ditekankan berlaku adil dalam suatu urusan yang berhubungan dengan orang lain maupun lingkungan dimanapun orang itu berada. Nilai moral selalu menekankan apa yang seharusnya kita lakukan sesuai nurani dan apa yang dilakukan harus betul-betul sejalan dengan nilai-nilai kebaikan meskipun itu bertentangan dengan keinginan yang pribadi yang bersangkutan. Sedangan pemahaman nilai dalam pengertian nonmoral secara filosofis empirik tidak mengandung mengenai adanya suatu keharusan atau semacam kewajiban untuk melakukan sesuatu berdasarkan nurani. Nilai nonmoral menekankan pada dimensi keinginan dan kebutuhan, dan dengan demikian nilai nonmoral tidak mewajibkan suatu perbuatan yang didasarkan pada nurani. Dalam hal ini boleh jadi seseorang sangat berkeinginan main sepak bola atau menyaksikan pameran namun tidak diwajibkan seseorang harus melakukannya. Itulah yang membedakan antara nilai moral dan nilai nonmoral. Nilai moral lebih menekankan dimensi nurani sedangkan nilai nonmoral lebih mengedepankan aspek kebutuhan dan keinginan. Nilai-nilai moral bersifat wajib sedangkan nilai nonmoral sebaliknya. Nilai moral dibagi menjadi dua kategori, pertama kategori universal dan kedua kategori nonuniversal. Nilai universal menuntut setiap kita untuk senantiasa berlaku adil terhadap sesama yang didalamnya memuat adanya kesetaraan, kebebasan, kemandirian, dan sifatnya mengikat bagi siapapun dan dimanapun untuk mengutamakan kemanusiaan karena kemanusiaan sebagai wujud dari manifestasi atas harga diri yang fundamental. Penguatan Sistem Etika dalam Kehidupan Berbangsa Tahun 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan sebuah pengakuan atas validitas nilai-nilai moral dasar dengan mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sebuah “dokumen mahal ini secara substantif menegaskan bahwa setiap warga negara dari setiap negara memiliki hak untuk: hidup bebas dan merdeka dari penindasan, bebas dari perbudakan, bebas dari penganiayaan, bebas memilih agama dan mengikuti hati nurani, bebas berekspresi, bebas memiliki privasi, keluarga, dan berhubungan dengan pihak lain, bebas berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, pendidikan, dan mendapatkan standar kehidupan yang memadai untuk memelihara kesehatandan kesejahteraan. Jika dicermati dan direnungkan dengan baik, maka semangat untuk mentransformasikan nilai-nilai moral bagi semua negara sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut dalam praktik mengalami kegagalan-kegagalan di sana sini namun yang patut dipahami bahwa kegagalan tersebut bukan merupakan suatu bentuk penyangkalan terhadap validitas nilai-nilai moral yang melatarbelakangi dokumen historis tersebut melainkan lebih disebabkan ketidaksiapan banyak negara dalam mengelola sistem budaya masing-masing untuk menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Sebaliknya, nilai-nilai moral nonuniversal tidak mengandung suatu keharusan untuk wajib bertindak sesuai hati nurani atau tidak ada kewajiban moral yang sifatnya universal. Dalam konteks pemahaman moral juga terjadi bias interpretasi sehingga usaha menginstitusionalisasikan nilai-nilai moral selalu dianggap bertentangan dengan kebebasan. Padahal Aristoteles yang mengatakan manusia sebagai makhluk sosial (zoon politican) kemudian oleh Plato yang mengatakan bahwa manusia dalam hidup pada khodratnya memiliki tujuan untuk mencapai kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan dan kebahagiaan yang bersifat indrawi dan ide. Plato bahkan konsisten dengan gagasannya tentang the transcendent good. Etika selalu berhubungan dengan persoalan-persoalan nilai karena etika berkaitan dengan predikat nilai dan hal-hal bersifat susila dan tidak susila. Kualitas kebajikan yang merupakan berlawanan dengan keburukan. Sigmund Freud mengemukakan manusia memiliki potensi konstruktif dan destruktif. Sedangkan untuk memahami sifat moral terjadi perdebatan yang memicu kontroversial. Setidaknya dalam perspektif memahami sifat moral muncul dua pemikiran yakni pertama perspektif objektivistik-universal dan kedua perspektif realativistik-kontekstual. Terlepas dari perdebatan ilmiah, perlu kita pahami bersama bahwa persoalan kekinian yang tengah melanda kehidupan dunia modern ialah persoalan moral. Artinya, persoalan moral telah menjadi salah satu embrio bagi problem-problem lainnya karena moral menjadi sumber dari timbulnya persoalan-persoalan yang ada. Maka jangan pernah berharap ada perbaikan kualitas kehidupan berbangsa yang bagus tanpa adanya reformasi pemikiran akademis yang komprehensif karena dari gagasan atau meminjam istilah Plato tentang kebahagiaan dicapai melalui ide maka kita bisa merancang dan memformulasi suatu sistem yang mengarah pada bagaimana bangsa besar ini mengedepankan karakter kebangsaan (nation and character building). Dalam konteks hubungannya dengan moral dan ilmu pengetahuan sebenarnya negara-negara maju dan berkembang sudah mempunyai suatu konsensus seperti yang pernah dibicarakan dalam Majelis Pengetahuan pada tahun 1947 dan kemudian tahun 1949 di Majelis Internasional di Genewa yang diberi nama “Recontres international di Genewa” dalam acara tunggal “Progres techniquet progres moral”. Forum ini sempat melahirkan perdebatan ilmiah seputar apakah ilmu pengetahuan a-moral atau im-moral, atau bahkan moralist. Tidak saja ilmu pengetahuan yang mendapat kritik tajam tapi juga kritik yang sama terjadi ketika orang membincangkan persoalan moral dengan agama. “moral agama” pernah dikritik dalam sebuah kongres Freethinkers pada tahun 1912 di Munchen. Bahkan kongres Freethinkers ini menghasilkan ketetapan yang kontroversial di mana butir-butir ketetapan diantaranya memuat mengenai kesopanan yang berdasarkan agama merupakan sesuatu yang dipandang tidak sopan, bahkan lebih ekstrim lagi salah satu bunyi ketetapan mengatakan bahwa setiap urusan yang melibatkan intervensi agama dan kesopanan agama hendaknya dianggap sebagai hal yang merugikan. Sesungguhnya pemahaman sebagaimana digambarkan di atas adalah konstruksi pemikiran yang keliru. Dalam bukunya “Religion and Modern man, John B. Magee mengatakan, zaman modern tanpa agama dan moral sebenarnya sudah berjalan sejak 300 tahun lamanya yakni sejak generasi Galileo tahun 1632 hingga zaman Hitler 1933 (The 300 years from the publication of Galileo’s Dialogue in 1632 to Hitler’s appointment as Chancellor of Germany in 1933 represent in round numbers the epoch I have called modernity). Bahkan kediktatoran Hitler dan Nazinya telah meluluhlantakan sistem nilai-nilai kemanusiaan universal termasuk sistem politik di negara-negara yang ketika itu mengalami rotasi demokratisasi. Hitler digambarkan Henry C. Link dalam bukunya “The rediscovery of moral’s membenarkan perspektif Magee yang mengatakan, Hitler sebenarnya berusaha menghancurkan moral internasional dengan menggunakan terminologi (...... should be the first in modern times to reject international morality with the cynical world “a scrap of paper”). Dalam perspektif pemahaman menegani moral ini semakin diminati bahkan terus menjadi perhatian masyarakat modern sehingga pada titik tertentu negara dalam menghadapi persoalan-persoalan etika dan moral tetap dipandang sebagai bagian dari usaha untuk mewujudkan sistem kehidupan berbangsa yang berperadaban. Al Gazali dalam teorinya mengatakan, manusia atau suatu entitas masyarakat yang telah mempunyai konsensus bersama untuk hidup bersama jelas membutuhkan semacam rumah yang canggih dan modern yang di dalamnya terisi berbagai perabot kebutuhan manusia yang menghuninya. Al Gazali menggunakan istilah “bilad” atau “balad” (negeri) yang tentu menjadi prasyarat utama terbentuknya sebuah negara. Dengan demikian, negeri yang kemudian mengalami evolusi sesuai perkembangan zaman berubah menjadi negara dan dengan sistem kenegaraan maka secara formal negeri atau negara memerlukan institusi-institusi dengan tujuan mengatur keselamatan-keselamatan masyarakat baik bersifat pribadi maupun kolektif. Itulah sebabnya kita mengenal istilah misahah dalam urusan pembagian tanah pada rakyat dan distribusi kekuasaan politik secara adil, dan ada istilah lain yaitu jundiyah yakni memberikan perlindungan bagi semua warga negara, dan tentu semua itu dilakukan lewat suatu pemerintahan. Pemerintahan negara yang memiliki standar hukum (fiqih). Hukum ditujukan untuk mengatur dengan menetapkan, menjatuhkan sanksi bagi setiap warga negara yang melanggar baik norma hukum, norma etika, dan norma-norma budaya negara bersangkutan guna menciptakan ketertiban dan kedamaian bersama. Dalam menciptakan suasana ketertiban dan kenyamanan bernegara jelas diperlukan kemauan kuat serta tekad yang sungguh-sungguh dari semua elit masyarakat termasuk stake-holders yang ada. Kesadaran kolektif yang bersifat ethical principle atau sebagai asas etis untuk mewujudkan kedamaian. Kesadaran dalam ethical rationalism atau rasionalisme etis seperti yang canangkan Socrates, Plato, dan Aristoteles. Manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki fungsi akal dan mempunyai tujuan utama dalam kehidupan akalnya. Dalam perspektif ini maka sistem metafisis sebagaimana dikemukakan Plato dan Aristoteles yang menekankan dimensi watak rasional dari realitas bagi manusia rasional untuk memahaminya. Dengan demikian, seiring terus berjalannya waktu, perkembangan ilmu dan pengetahuan terus mengalami peningkatan dan berbagai riset, pendalaman keilmuan pun terus dilakukan sehingga dengan pendekatan ikhtiar penelitian, konsep etika dan moral kemudian dipahami sebagai sesuatu yang bersifat personal namun tetap menjadi kesatuan dari etika sosial. Itulah sebabnya kita mengenal ada etika privat dan etika publik. Penguatan Norma Hukum dalam Praktik Bernegara Dalam memahami masalah norma hukum yang berlaku atau pun yang secara umum diterapkan dalam sistem kehidupan sosial masyarakat maka terlebih dahulu yang dipahami adalah penafsiran norma terhadap suatu objek melalui perilaku manusia itu sendiri dalam konteks masyarakat hukum. selain memahami penafsiran-penafsiran norma terhadap sikap dan perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara juga yang harus menjadi landasan pemahaman atas interpretasi norma tersebut harus dari pemahaman mengenai ilmu hukum karena perilaku manusia merupakan pengejawantahan dari konteks norma hukum. Artinya, peranan ilmu hukum menjadi legitimasi atas interpretasi perilaku manusia menjadi hal yang mendasar dalam kehidupan sosial bernegara. Kesadaran masyarakat mengikuti aturan hukum dalam kehidupan sosial merupakan bagian dari perwujudan negara menciptakan tatanan sosial yang lebih berdasarkan pada norma hukum. Masyarakat akan menjalankan norma hukum dengan konsisten manakalah ada keteladanan elit politik seperti pejabat negara dalam mengikuti aturan norma hukum yang telah disepakati. Maka akibat logis dari kedaulatan hukum dapat digambarkan sebagai berikut; hukum mengatur pembentukannya sendiri karena norma hukum menentukan cara untuk membuat suatu norma hukum yang lain, dan sampai derajat tertentu, menentukan isi norma lainnya. Dengan demikian validitas norma hukum lantaran dibuat menurut cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum lainnya. Norma hukum lainnya ini adalah landasan validitas norma hukum yang disebut pertama. Dengan kata lain, konstitusi adalah sumber hukum utama dalam membentuk undang-undang dan undang-undang merupakan preseden bagi peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya, dan seterusnya. Dalam kaitan dengan apa yang telah dikemukakan di atas, Maurice Hauriou seorang sarjana berkebangsaan Prancis ini mengatakan: “Under the rule of a national constitution, no public authority is sovereign in the sense that is cannot be controlled in exercise of its power or in the performance of its function ..... Uncontrollable sovereignty lies only in the nation and is not delegated at all. All delegated sovereignty is controllable”. Di bawah peraturan konstitusi nasional maka tidak ada otoritas publik yang berdaulat dalam arti kewenangan tidak dapat dikontrol pada tahap implementasinya atau pada tingkat menjalankan fungsinya. Artinya tidak ada kedaulatan yang dapat dikontrol terkecuali kedaulatan rakyat, tetapi kedaulatan rakyat yang didelegasikan dalam sistem peraturan dan perundang-undangan maka wewenangnya tetap harus dikontrol. Ilmu hukum menjelaskan norma-norma hukum yang menggambarkan semua aktivitas sosial manusia dalam kehidupan sosial bermasyarakat dan bernegara. Perilaku manusia dalam kehidupan sosial bernegara yang menunjukan memenuhi standar maupun kriteria peraturan dan perundang-undangan yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Tindakan manusia hendaknya mengikuti aturan-aturan baik normatif maupun empiris yang sudah menjadi konsensus dalam bernegara. Maka dalam perspektif ini, tindakan dan perilaku manusia harus memperlihatkan adanya ketaatan terhadap norma hukum. Akan tetapi yang perlu dijelaskan di sini adalah pemahaman mengenai kalimat-kalimat yang digunakan ilmu hukum dalam menjelaskan norma-norma serta relasinya sebagai aturan hukum yang mesti dibedakan dari norma hukum yang merupakan hasil produk manusia melalui otoritas hukum sehingga dalam praktik peraturan dan perundang-undangan dalam kehidupan sosial bernegara akan dengan mudah terkonfirmasi perilaku manusia tadi apakah mereka patuh atau tidak pada aturan hukum yang dibuat oleh mereka sendiri. Namun norma yang diberlakukan oleh otoritas hukum (yang menetapkan konpensasi atas kerugian dan eksekusi perdata atas perbuatan ingkar tersebut) tidak bisa dinyatakan benar atau salah, karena ini bukanlah penegasan tentang suatu fakta, bukan pula penjabaran tentang sebuah obyek, melainkan sebuah penerapan, dan dengan demikian ini merupakan obyek yang mesti dijelaskan oleh ilmu hukum. norma yang dibuat oleh legislator (yang menetapkan eksekusi kepada orang yang mengingkari janji perkawinan dan tidak mau memberikan ganti rugi), dan pernyataan yang dibuat oleh ilmu hukum dan menjelaskan norma ini (eksekusi itu harus dilakukan terhadap orang yang mengingkari janji perkawinannya dan tidak memberi kompensasi atas kerugian yang ia timbulkan) – ungkapan-ungkapan ini berbeda secara logika. Aturan hukum yang dirumuskan oleh ilmu hukum bukanlah pengulangan sederhana dari norma hukum yang diciptakan oleh otoritas hukum. meski begitu, keberatan terhadap pernyataan bahwa aturan hukum tidaklah berguna bukanlah suatu bantahan yang tanpa dasar, seperti halnya pendapat bahwa ilmu alam itu tidak berguna di sisi alam, karena alam tidak mengejawantahkan diri dalam kata-kata lisan dan tertulis, seperti yang terjadi pada hukum. norma hukum adalah bentuk dari pengejawantahan yang memerintahkan, menetapkan, dan memberi izin serta wewenang bahwa sanksi terhadap setiap orang yang tidak taat aturan atau melanggar hukum itu diberikan. Obyek ilmu hukum adalah norma hukum dan karenanya nilai-nilai hukum juga dibentuk oleh norma-norma ini, namun aturan hukum itu, seperti halnya hukum alam dari ilmu alam, merupakan uraian yang bebas nilai mengenai obyeknya. Artinya, uraian tersebut tidak memiliki kaitan dengan nilai meta-hukum dan tidak mengimplikasikan kesetujuan atau ketidaksetujuan emosional. Norma yang merupakan nilai hukum harus dibedakan dari norma-norma yang digunakan untuk mengevaluasi pembuatann hukum. Karena aturan hukum dalam pengertian deskriptif, seperti halnya hukum alam (dan ilmu alam) menjelaskan hubungan fungsi, ia juga bisa disebut hukum perundangan (yakni hukum dalam pengertian resmi, atau yang dalam bahasa Jermannya Rechtsgesetz), yang memiliki persamaan dengan hukum alam. Norma hukum kendati disebut sebagai hukum manakala ia memiliki karakter umum---bukanlah hukum dalam pengertian yang senada dengan hukum alam, karena ia bukanlah pernyataan tegas yang menjelaskan hubungan fungsi. Norma hukum sama sekali bukan penegasan, melainkan makna dari suatu tindakan yang melandasi ditetapkannya sesuatu yang terlebih dahulu menetapkan hubungan fungsi antara fakta—suatu hubungan yang dijelaskan oleh aturan hukum, hukum perundang-undangan. Maka produk suatu hukum dan perundang-undangan yang dikeluarkan baik di lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif semestinya selalu mencerminkan nilai-nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Tetapi peraturan dan perundang-undangan yang dihasilkan hanya memenuhi keinginan ataupun kepentingan sebagian masyarakat yang merupakan bagian dari proses politik yang dilakukan elit maka aturan norma tersebut yang ditetapkan tetap diberlakukan secara umum namun norma hukum seperti ini tidak mencerminkan keadilan sosial secara menyeluruh. Sebuah analisis dari proses konstitusional yang menjadi dasar terciptanya sebuah undang-undang memperlihatkan bahwa tindakan penciptaan sebuah hukum yang mengikat sekalipun sama sekali tidak perlu mewakili kehendak apapun terhadap perilaku yang dituntut oleh undang-undang. Undang-undang tersebut dibuat ketika mayoritas dari para legislator telah memberi suara kepada sebuah rancangan undang-undang yang disampaikan kepada mereka. Konten dari undang-undang tersebut bukanlah “kehendak” dari para legislator yang memberi suara yang menentang rancangan undang-undang tersebut; kehendak mereka justru mengekspresikan yang sebaliknya. Namun ekspresi kehendak mereka sama sesensialnya bagi eksistensi undang-undang tersebut seperti ekspresi kehendak dari para anggota yang memberi suara pada undang-undang itu. Hukum bisa diistilahkan sebagai perintah yang “didepsikologisasikan.” Hal ini sebagaimana muncul dalam pertanyaan Kelsen mengenai manusia “harus” membuat dirinya bertingkah laku menurut hukum. disinilah letak pentingnya konsep tentang “yang harus,” di sini terlihat pentingnya konsep norma. Sebuah norma adalah sebuah peraturan yang menyatakan bahwa seorang individu harus berperilaku dengan cara tertentu, tetapi tidak menegaskan bahwa perilaku semacam itu merupakan kehendak aktual dari seseorang. Norma secara teoritis merupakan bentuk dari tindakan dan perilaku manusia secara individu maupun kolektif yang mengandung makna hukum yang sebenarnya juga selalu berkaitan dengan suatu sistem hukum dari yang lain atau semacam tata nilai dalam kehidupan sosial di komunitas tertentu yang mengandung makna norma juga. Sebuah fakta material adalah bukan semata-mata dijadikan sebagai argumentasi pembunuhan tetapi realisasi dari hukuman mati adalah kualitas penanganan dan penyelesaian kasus yang secara logika sangat sulit dimengerti. Hal ini karena boleh jadi suatu peristiwa muncul disebabkan oleh tindakan intelek yakni, berupa konfrontasi dengan undang-undang yang termasuk mengandung unsur kriminal maupun metode dan prosedurnya pun bermuatan makna kriminal. Memahami sesuatu secara hukum bisa jadi hanya memhami sesuatu tersebut sebagai hukum. tesis bahwa hanya norma-norma hukum yang bisa menjadi objek kognisi hukum adalah tautologi, karena hukum tersebut, satu-satunya objek kognisi hukum---adalah norma, dan norma adalah kategori yang tidak bisa diaplikasikan di wilayah alam. Penggolongan tindakan-tindakan yang terjadi di alam sebagai hukum hanya menyatakan keabsahan norma yang muatannya sesuai hal tertentu dengan keabsahan peristiwa sebenarnya. Ketika seorang hakim menetapkan fakta material kongkret (misalnya delik), semua kognisinya pertama kali hanya diarahkan pada sesuatu yang ada di alam. Maka dalam memastikan suatu norma hukum tentang proses pembuktian suatu peristiwa sangat dibutuhkan fakta yang akurat. Kebenaran fakta yang mengandung makna norma memungkinkan terjadinya determinasi atas peristiwa dalam konteks penyelesaian masalah dengan pendekatan hukum. Kebenaran yang menguatkan makna norma selalu dihadapkan dengan fakta maupun data-data faktual terkait peristiwa yang menghubungkannya dengan tindakan-tindakan manusia dalam kehidupan sosial. Dalam percakapan ilmiah mengenai kata “keharusan” misalnya, apakah ia mengandung makna transedental atau tidak, jelas memerlukan kajian teoritis yang mendalam. Namun, yang paling penting dalam pembahasan ini ialah orientasi mengenai ilmu hukum dalam sebuah konsep ilmiah dengan memasukan hukum positif serta konsep norma atau “keharusan”. Menurut Kelsen (1996) “selama bukan identitas norma hukum dan norma moral yang ditekankan berulang-ulang dalam yurisprudensi, nilai moral mutlak tidak dipersoalkan sehingga hanya nilai relatif hukum tersebut yang jelas menentang latar belakang ini. Namun demikian, satu-satunya fakta bahwa yurisprudensi tidak mengabaikan eksistensi nilai mutlak, tidak menganggap diri kompeten untuk dipersoalkan, adalah fakta yang harus memberikan reaksi pada konsep hukum tersebut. Jika hukum dipandang sebagai norma, sebagaimana moralitas, dan jika makna norma hukum dijabarkan dalam ‘keharusan’, sebagaimana makna norma moral, maka nilai mutlak yang menjadi karakteristik moralitas melekat pada konsep norma hukum dan pada ‘keharusan’ hukum. Maka setiap keputusan yang dibuat yang merupakan muatan nilai maka norma hukum yang menjadi pijakan pembuatan atas keputusan hukum adalah mengandung makna norma pada ‘keharusan’. Keharusan untuk memberikan sanksi dalam bentuk putusan merupakan tanggungjawab dan kewajiban para hakim yang secara norma hukum positif diberikan wewenang. Oleh karena itu, dalam putusan hakim terkait dengan penyelesaian suatu perkara selalu bermuatan beberapa norma yang menjadi pemahaman masyarakat sehingga apapun keputusan yang dibuat selalu berdampak positif dan negatif namun hal tersebut tetap dianggap sebagai konsekuensi yang harus dilaksanakan. Dan dengan demikian, untuk memahami karakterisisasi dari sebuah konsep hukum sebagai norma dan atau sebagai suatu ‘keharusan’ yang diotorisasi lewat yurisprudensi positivis dalam praktik selalu menimbulkan interpretasi hukum positif yang mengarah pada upaya mempertahankan unsur ideologis tertentu sebagai doktrin politik negara. Norma hukum dapat dibedakan antara norma hukum fakultatif dan norma hukum imperatif. Sebagaimana sebutannya, norma hukum imperatif merujuk pada norma hukum yang bersifat memaksa sedangkan norma hukum fakultatif adalah merujuk pada norma hukum yang mengatur dan norma hukum yang bersifat menambah atau melengkapi. Meski demikian, kadang dijumpai norma hukum yang sekaligus memiliki kedua sifat tersebut, yakni bersifaf mengatur sekaligus bersifat memaksa. Selain itu terdapat pula pembedaan antara norma hukum yang bersifat umum dan abstrak dengan norma hukum yang bersifat konkrit dan individual. Perlu dipahami bahwa norma hukum yang bersifat umum merupakan ketentuan yang bersifat abstrak. Norma hukum yang bersifat abstrak yang dimaksudkan disini adalah ketentuan tersebut tidak menjelaskan setiap kondisi yang mungkin terjadi dimana ketentuan tersebut akan berlaku. Hanya menyebutkan secara umum dan dianggap dapat diberlakukan dalam setiap kondisi dimana ketentuan tersebut dapat diberlakukan. Ketentuan tersebut ditujukan kepada semua subyek terkait tanpa mengaitkan atau menunjuk satu kondisi atau subyek tertentu. Ketentuan tersebut berlaku kepada semua subyek atau bersifat umum. Norma hukum individual adalah norma hukum yang selalu bersifat konkrit. Hal ini disebabkan karena norma hukum individual secara tegas menunjuk subyek tertentu dan atau keadaan tertentu dimana norma hukum tersebut harus diberlakukan. Sebagai contoh adalah klausul perjanjian antara para pihak dalam hukum perdata. Norma hukum sebagaimana telah diuraikan daitas dalam pelaksanaannya harus mendapat pengawasan dan atau kontrol. Setidaknya terdapat 3 cara untuk melakukan kontrol terhadap hukum, antara lain: melalui pengawasan atau pengendalian politik, melalui pengendalian administratif dan melalui kontrol hukum. Kontrol melalui pengawasan atau pengendalian politik dapat dilakukan oleh lembaga politik. Di Indonesia undang-undang dibuat oleh DPR-RI dan Presiden. Oleh karena itu, mekanisme kontrol politik juga dapat dilakukan melalui lembaga politik tersebut. Misalnya dengan mengadakan legislative review terhadap peraturan perundang-undangann yang dianggap tidak dapat diberlakukan lagi atau mungkin perlu dilakukan perubahan terhadapnya. Kontrol melalui pengendalian administratif dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga administratif yang oleh peraturan perundang-undangan tersebut diberikan kewenangan untuk melaksanakannya. Lembaga administratif tersebut dalam pelaksanaan norma atau aturan hukum yang dimaksud dapat mengetahui kekurangan atau kelemahannya, sehingga dapat mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud. Apabila kemudian perlu dilakukan perubahan atau revisi maka lembaga administratif tersebut dapat mengambil langkah-langkah untuk mengajukan perubahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal ini disebut executive review. Kontrol terhadap norma hukum biasa disebut dengan legal control atau judicial control atau judicial review apabila mekanisme kontrol tersebut dilaksanakan melalui pengadilan. Terdapat dua bentuk kontrol dalam model legal control ini, yakni ada yang terpusat dan ada yang terdesentralisasi (tidak terpusat). Negara yang melakukan legal control dengan metode terpusat seperti Indonesia, dimana pengujian atas Undang-Undang dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengujian atas peraturan dibawah undang-undang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Negara yang melakukan legal control dengan metode tidak terpusat memberikan kewenangan kepada seluruh badan peradilannya untuk melakukan pengujian terhadap norma atau peraturan hukum. Dengan demikian, kepincangan sistem hukum dan sistem etika sebagai akibat dari tersumbatnya transformasi perilaku ethics dalam sistem kehidupan bernegara telah menyebabkan keruntuhan norma etika sosial dalam berbangsa. Semakin marak muncul perilaku tidak etis dan tidak bertanggungjawab pada tugas-tugas negara dari pejabat negara dan cenderung mengikuti hawa nafsu dunia turut memberikan kontribusi negatif bagi lambannya penataan sistem etika dalam bernegara. Perilaku elitis dan konsumtif dengan menjadikan kekuasaan, jabatan, pangkat, dan status sosial dari negara sebagai alat mencapai tujuan negatif jelas sangat menghambat proses perbaikan kualitas sistem bernegara. Sebaik apapun sistem yang dibangun dan dikembangkan dalam praktik kehidupan sosial bernegara bila dikendalikan oleh pejabat negara yang tidak berkarakter dan tidak memiliki pemahaman pada nilai-nilai kebangsaan maka sistem sebagus yang diharapkan untuk perubahan justru menjadi tidak bermanfaat bagi tatanan nilai-nilai etika kehidupan bernegara. ________________________________ Penulis adalah, Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyyah Jakarta

Rabu, 19 September 2018

Peradilan Etik Terbuka dan Profesional

Prinsip Peradilan Terbuka DKPP Oleh : Rahman Yasin (Tenaga Ahli Di DKPP) Pada masa pemerintahan Orde Baru berkuasa, politik hukum dalam konteks peradilan dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru pada permulaan memberikan harapan perubahan pada sistem peradilan yang berorientasikan pada prinsip-prinsip negara hukum. Sebuah peradilan yang bebas dan jauh dari polusi intervensi penguasa. Akan tetapi pada tahap implementasi, pemerintahan Orde Baru sebatas memberikan janji bahkan janji manis akan perubahan sistem peradilan yang mandiri ini dijadikan sebagai alat politik untuk mengkonsolidasikan kekuatan masyarakat guna mendukung pemerintahan. Dari gambaran diatas dapat diketahui bahwa wacana perubahan sistem peradilan dalam membangun negara hukum lebih merupakan strategi politik penguasa untuk mempertahankan kekuasaan. Wacana perubahan sistem peradilan yang bebas dan mandiri hanya merupakan wacana politik dalam menciptakan kontestasi ideologi termasuk di era modern sekarang ini atau apa yang disebut Pompe (1978) sebagai politik hukum peradilan yang merepresentasikan kontestasi ideologi liberal dalam menghadapi patrimonialistik. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, sebagai pengadilan, para anggota DKPP juga bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus-kasus yang timbul untuk popularitas pribadi. Para anggota dilarang menikmati pujian yang timbul dari putusan, dan sebaliknya dilarang pula tersinggung atau marah karena dikritik oleh masyarakat yang tidak puas akan putusan DKPP. Pendek kata, sebagai lembaga peradilan etika, DKPP juga harus menjadi contoh mengenai perilaku etika dalam menyelenggarakan sistem peradilan etika yang menyangkut aneka kepentingan yang saling bersitegang antara para peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu atau antara masyarakat pemilih (voters) dengan penyelenggara pemilu, ataupun di antara sesama penyelenggara pemilu sendiri, khususnya antara aparat KPU dan aparat Bawaslu. Maka keberadaan lembaga penegak kode etik penyelenggara pemilu ini sesungguhnya menjadi penguatan bagi sistem ketatanegaraan. Karena dengan demikian, sistem ketatanegaraan kita didukung oleh sistem hukum dan sistem etik yang bersifat fungsional. Sistem demokrasi yang dibangun diharapkan dapat ditopang oleh tegak dan dihormatinya hukum dan etika secara bersamaan. Membangun demokrasi yang sehat dengan ditopang oleh ‘the rule of law and the rule of ethics’ secara bersamaan. “the rule of law” bekerja berdasarkan “code of law”, sedangkan “the rule of ethics” bekerja berdasarkan “code of ethics”, yang penegakannya dilakukan melalui proses peradilan yang independen, imparsial, dan terbuka, yaitu peradilan hukum (court of law) untuk masalah hukum, dan peradilan etika (court of ethics) untuk masalah etika. Secara umum, independen peradilan bisa dilihat dari dua perspektif. Pertama, independensi personal hakim dan yang kedua independensi institusional yakni lembaga peradilan yang bersangkutan. Independensi personal hakim (functional independable) sangat diperlukan dalam proses peradilan yang bebas dan bermartabat, karena dengan independensi personal tersebut, seorang hakim bisa dikontrol dari gangguan eksternal terutama aktor-aktor politik yang menggunakan kewenangan dan kekuasaan melakukan intervensi. Sedangkan independensi institusional (structural independece) merupakan usaha untuk menjaga kehormatan kelembagaan peradilan dari segala bentuk gangguan campur tangan eksternal terhadap lembaga pengadilan. Pada era reformasi, tuntutan akan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pun akhirnya dapat dipenuhi pemerintahan reformasi. Semangat perubahan menuntut reformasi sistem hukum termasuk lewat lembaga peradilan dengan tujuan mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dalam praktik. Terobosan menarik dalam perubahan UUD 1945 ini memungkinkan dibentuknya suatu lembaga sebagaimana dalam UU No. 35 Tahun 1999 mengenai majelis kehormatan hakim yang difungsikan melakukan kontrol terhadap lembaga peradilan guna menghindari perilaku koruptif dan tindakan tirani lembaga yudikatif. Dibentuknya Komisi Yudisial (KY) tahun 2004. Komisi Yudisial merupakan produk reformasi dari hasil perubahan UUD 1945 yang kedua. Sejak reformasi digulirkan dan pembentukan lembaga-lembaga baru dalam peradilan pun terus bermunculan, akan tetapi reformasi sejak 1998 hingga memasuki awal tahun 2000 perubahan dan penataan lembaga peradilan tidak berjalan sesuai cita-cita reformasi sistem hukum. Reformasi sistem peradilan dilakukan namun secara substansi tidak menyentuh sampai pada hal-hal yang dianggap mendasar. Sepanjang tahun 1999 sampai 2002 terdapat 4 undang-undang bidang peradilan diberlakukan pada tahun 2004. Keempat undang-undang ini adalah sebagai berikut; i) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai pengganti dari UU No. 35 Tahun 1999; ii) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung sebagai pengganti dari UU No. 14 Tahun 1985; iii) UU No. 8 Tahun 2004 yang mengubah UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; dan iv) UU No. 9 Tahun 2004 tentang Tata Usaha Negara yang menggantikan UU No. 5 Tahun 1986. Meski lahirnya keempat undang-undang tersebut dipandang sebagai sikap responsif pemerintahan reformasi tetapi bila ditelaah lebih jauh maka banyak ketentuan dari keempat undang-undang tersebut masih banyak kekurangan. Lahirnya keempat undang-undang ini meski meneguhkan negara hukum tetapi kurang memberikan arah baru yang baik sehingga tidak menjadi penyempurna terhadap UU No. 34 Tahun 1999. Hal ini bisa dipahami karena dominasi pemahaman politik hukum model peradilan tertutup masih mewarnai pemikiran para pembentuk Undang-Undang. Tujuan menjadikan lembaga peradilan hukum di Indonesia sebagai bagian dari proses penataan pemerintahan berbasis good governance baik pada era orde lama dan orde baru berkuasa boleh dikatakan belum mampu memberikan kontribusi yang prospektif. Peradilan hukum di Indonesia termasuk pada era reformasi masih sarat dengan intervensi dan intimidasi politik sehingga para hakim kita pun kerapkali tidak bersikap netral dan agaknya sulit kita mengharapkan suatu kebebasan yang betul-betul mandiri dari sebuah peradilan hukum. Gerakan pembaruan sistem hukum tidak akan mampu memberikan harapan bagi rakyat yang menggembirakan, apabila mentalitas para pemimpin kita tidak berubah khususnya dalam mempolitisasikan lembaga-lembaga peradilan. Konsep peradilan yang bebas dan mandiri serta netral atau dengan kata lain tidak ada campur tangan negara dalam peradilan dalam negara hukum nampaknya sulit diwujudkan karena fakta menunjukan betapa pemimpin menggunakan wewenang peradilan sehingga mengganggu netralitas institusi peradilan baik personal maupun kelembagaan. Di era reformasi, praktik kekuasaan kehakiman, prinsip dasar dalam peradilan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 menyangkut prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka (independensi peradilan), kelembagaan peradilan yang terdiri dari Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang terdiri dari peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi, serta badan-badan lain yang diatur undang-undang, dan Komisi Yudisial yang secara tegas dan jelas dikatakan sebagai peradilan yang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat dan perilaku hakim dalam praktek masih ada saja manipulasi dan distorsi nilai-nilai keadilan dalam hukum. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum dilihat dari konteks peradilan maka lembaga ini merupakan peradilan etika pertama kali di Indonesia bahkan di dunia. Peradilan etika pertama yang membedakannya dengan lembaga-lembaga penegakan kode etik profesi lainnya yakni bisa dilihat dari lembaga ini tugas dan fungsi dan wewenangnya dilakukan dengan terbuka. Salah satunya ialah persidangan Kode Etik yang dilaksanakan secara terbuka ialah proses persidangan dilakukan dengan terbuka untuk umum. Hal ini menjadi titik tekan nilai politik kita pada zaman modern yang serba kemajuan ilmu dan teknologi serta pesatnya transformasi informasi dalam memenuhi tuntutan akan semangat keterbukaan dan pertanggungjawaban kita pada publik sebagai pemilik saham terbesar dalam demokrasi. DKPP berdasarkan ketentuan UU No.15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu dan melalui prinsip-prinsip layaknya sebuah peradilan menempatkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP No. 13 Tahun 2012, No. 11 Tahun 2012, dan No. 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum materiil"-nya, serta Peraturan DKPP No. 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara Pemilu sebagai "hukum formil"-nya. Artinya, lembaga ethics ini menempatkan eksistensi kewenangan, tugas, dan fungsi tidak saja secara transparan, dan akuntabel tetapi menjadi suatu model demokrasi modern yang sangat berbeda dengan lembaga-lembaga lain yang memiliki penegakan kode etik namun tidak dilaksanakan secara terbuka. Dengan demikian, DKPP yang merupakan embrio awal dari prestasi DK KPU menjadi tonggak perubahan sistem demokrasi yang mengarah pada penerapan good governance dan pendorong percepatan implementasi sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih bermartabat. Keberadaan DKPP juga sebetulnya bukan merupakan barang baru karena sebelumnya sudah ada namanaya Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU). Cakupan wewenang DK KPU sangat terbatas. Selain bersifat ad hock lembaga ini juga hanya menjadi rekomendir pada KPU sehingga dari sisi kepastian penyelesaian pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu ditentukan oleh KPU. Problem DK KPU selaian wewenang juga keanggotaan yang didominasi oleh KPU sehingga sangat tergantung pada KPU. Betapapun demikian, kerja keras, kerja cerdas, dan kesungguhan dalam tugas sebagai tanggungjawab pada bangsa, DK KPU tetap bekerja profesional, akuntabel tanpa menyerah. DK KPU berkomitmen memberikan kontribusi positif bagi pembangunan etika berbangsa. Dan hasil positif yang diterima ialah lembaga etik ini kemudian ditingkatkan kapasitas wewenangnya yakni dari ad hoc menjadi permanen, dari rekomendiri menjadi eksekutor, dari yang semula bergantung pada KPU sekarang berperan langsung memberikan sanksi baik sanksi ringan, peringatan keras, pemberhentian sementara hingga pemberhentian tetap. Dan sesuai amanat UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, lembaga ini memiliki wewenang membuat putusan yang bersifat final dan mengikat. Dengan demikian, lembaga peradilan etik ini selain dari prosedur dan mekanisme kerjanya yang transparan dan akuntabel juga memiliki wewenang putusan yang final dan mengikat diharapkan menjadi model dan modal dalam sistem kehidupan bernegara kita.

Jumat, 14 September 2018

Pilkada Provinsi DKI Jakarta Yang Demokratis

Bercermin dari Pemilukada DKI Jakarta Oleh :Rahman Yasin (“Tenaga Ahli di DKPP RI) Pasangan pemenang Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada) putaran kedua Provinsi DKI Jakarta 2012 Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok) kemarin Senin (15/10) secara resmi dilantik oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Upacara pengambilan sumpah atau janji jabatan serta pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017 di Gedung DPRD Provinsi DKI berjalan cukup khidmat. Warga Jakarta telah melewati sebuah fase perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang cukup baik. Fase di mana proses penyelenggaraan Pemilu Kada Provinsi DKI Jakarta yang secara umum berakhir dengan aman, tertib, dan damai. Publik cukup puas atas proses dan hasil Pemilu Kada, meski masih ada kekurangan, ketimpangan hingga penyimpangan kinerja Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi DKI terutama dalam memastikan Daftar PemilihTetap (DPT) putaran pertama. Bicara masalah penanganan kasus DPT tentu amat menarik. Karena kasus ini selain menjadi sumber penyimpangan hak konstitusional warga juga menyangkut netralitas dan profesionalisme. Independensi memerlukan kemauan sekaligus tekad kuat semua pemangku kepentingan untuk secara kontinyu memperbaiki kualitas pemilu. Kualitas tidak hanya perbaikan sistem tetapi kesadaran politik etik individu dalam struktur sosial. Profesionalitas kelembagaan tidak menjamin proses maupun hasil pemilu berintegritas. Karena kebijakan lembaga penyelenggara pemilu kerap menimbulkan kegaduhan dan cenderung memicu pertengkaran politik. Ketidaktertibanpengelolaan DPT Pemilu Kada Provinsi Jawa Timur berakibat fatal sehingga pasangan calon incumbent (petahana) Soekarwo dengan wakilnya Syaifullah Yusuf digugat pasangan Khofifah Indar Parawansyah dan Mudjiono ke Mahkamah Konstitusi (MK) (2/2/2009). Kasus DPT ganda Pemilu Kada Kotawaringin Barat, Kalimantan Barat, 5 Juni 2010 silam pun tidak saja menimbulkan konflik horisontal berkepanjangan tetapi ketidakadmampuan dan ketidakberdayaan KPUD Kobar melepaskan diri dari intervensi politik sangat mengganggu proses penataan demokrasi di tingkat daerah. Artinya, KPU sesungguhnya selalu ada dalam kubangan politik praktis karena ruang gerak penyimpangan selalu ada cela. Umumnya, kasus DPT di sebagian besar Pemilu Kada di Indonesia selalu bermuara dari ketidakcermatan KPU, dan oleh karena itu, seharusnya menjadi catatan tersendiri bagi KPU, DPR, Pemerintah, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Sebagai stakeholder paling berkepentingan dalam menentukan apakah pemilu demokratis atautidak? Dalam konteks perbaikan yang lebih konstruktif, maka kasus DPT Pemilu Kada DKI putaran pertama yang menghilangkan hak politik warga tidak boleh terjadi di pemilu 2014 yang sekarang tengah memasuki tahapan verifikasi faktual partai politik. Komitmen DPR, KPU, Kemendagri, danBawaslu, menjadikan Pemilu Kada sebagai tolok ukur Pemilu 2014 harus diterjemahkan secara praktik nyata. Problem ketidakteraturan pengelolaan DPT lebih disebabkan ketidakhati-hatian KPU memverifikasi data pemilih pada tahapan DP4 di satusisi, dan pada sisi lain, penyelenggara sering terjebak dengan patokan data yang disodorkan pemerintah. Ekspektasi Masyarakat Perhatian masyarakat Indonesia terhadap perhelatan demokrasi lokal DKI Jakarta terlihat cukup kuat. Tingkat partisipasi pengawasan Pemilu Kada pun amat tinggi. Tidak semata diawasi pelaksanaannya oleh Bawaslu, Panwaslu Kada tetapi masyarakat luas mengambil peran amat terasa. Partisipasi warga Jakarta putaran pertama relatif rendah, hal ini terlihat dari tingkat partisipasi pemilih yang hanya terkonfirmasi dalam DPT sebanyak 6.962.348, yang menggunakan hak suara secara sah 4.336.486, dari jumlah partisipasi pemilih sebanyak 4.407.141. putaran pertama masing-masing calon mengantongi perolehan suara sebagai berikut; pasangan Jokowi-Ahok, 1.847.157 (42,60%), Foke-Nara, 1.476.648 (34,05%), pasangan Hidayat-Didik, 508.113 (11,72%), pasangan Faisal-Biem, 215.935 (4,89%), pasangan Alex-Nono, 202.643 (4,67%), dan pasangan Hendardji-Riza hanya meraih 85.990 (1,98%). Pertarungan Pilkada DKI telah usai setelah KPUD Provinsi menetapkan pasangan calon terpilih putaran kedua pada Hari Sabtu (29/9) melalui rapat pleno yang digelar di Hotel Borobudur, Jakarta. Pasangan Jokowi-Ahok menang secara meyakinkan dengan memperoleh dukungan kuat dari wilayah Jakarta Barat meraih 577.232 dengan total DPT 1.510.159, Jakarta Timur, 695.220 dari DPT 1.999.040, Jakarta Selatan 507.257 (DPT 1.512.913), Jakarta Utara 432.714 (DPT 1.168.988), Jakarta Pusat 256.529 (DPT 789.484), dan Kepulauan Seribu 3.178 (DPT 16.367) dengan total perolehan suara sebanyak 2.472.130 dan mengalahkan Foke-Nara yang mendapatkan suara secara keseluruhan sebanyak 2.120.815. Nuansa demokratisasi relatif kondusif, dan momentum ini sepatutnya kita jadikan sebagai titik tekan mengawal suksesi kepemimpinan 2014. Penyelenggaraan Pemilu Kada mendapat perhatian begitu besar dari Pers dan lembaga-lembaga pemantau sehingga menarik menjadi bahan pelajaran bagi pemerintah. Booming partisipasi warga menggunakan preferensi sebagai bentuk kesadaran politik masyarakat yang secara bersamaan ikut mengawasi pelaksanaan menunjukkan instrumen demokrasi bekerja aktif karenasikap proaktif instrumen-instrumen demokrasi mendorong pelbagai kekuatan politik untuk mengambil peran positif. Dalam perspektif ini, Pemilu Kada DKI tidak saja berjalan aman, tertib, dan damai, tetapi dari kerangka penyelenggaraannya berdasarkan penilaian umum relatif demokratis. Yang patut jadi pelajaran dari Pemilu Kada DKI ialah sikap kesatria dan bijak dari pasangan incunbent Fauzi Bowo yang secara jiwa besar menerima hasil tanpa menonjolkan arogansi kepemimpinan. Sikap kesatria ini harus kita akui sangat langkah terjadi dalam tradisi perhelatan Pemilu Kada di Indonesia. Dan pengalaman ini setidaknya menjadi peristiwa mahal yang harus diteladani oleh para pemimpin yang hendak berkompetisi merebut kekuasaan. Terobosan Positif Selama ini dimensi penegakkan hukum Pemilu selalu memicu perdebatan politik yang tidak produktif sehingga seringkali muncul ketidakpastian hukum dalam suatu penyelesaian kasus Pilkada. Ketidakmenentuan suatu putusan penyelesaian Pilkada dalam konteks penegakkan hukum Pemilu acap dijadikan alasan politik calon tertentu untuk memperpanjang ritma petualangan kekuasaan. Dalam konteks itulah, revisi UU Nomor 22/2007 tentang Penyelenggara Pemilu menjadi UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu menghadirkan instrumen demokrasi baru yakni Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Lembaga etic yang semula berstatus ad hoc menjadi permanen dan komposisi keanggotaan yang proporsional dan difungsikan secara netral (independent police). Eksistensi lembaga baru ini berdasarkan UU diorientasikan untuk memastikan penegakkan hukum secara pasti (the role of law) dan berperan mengawal kehormatan penyelenggara Pemilu the role of law and the of etic dari perspektif etika kepemiluan dalam era demokrasi modern. DKPP tiga kali menyidangkan kasus dugaan pelanggaran Kode Etik yang dilakukan Ketua KPUD DKI hingga pada tahap pemberian sangsi tertulis secara psikologi politik menjadi motivasi KPUD DKI. Sidang di KPU Pusat (27/7) dan (3/7/2012), dan sidang yang dilakukan di Bawaslu Sabtu (7/7/2012) tersebut mengeluarkan sangsi tertulis kepada Ketua KPUD Provinsi DKI sangat membawah dampak positif bagi perbaikan DPT. Implikasi putusan DKPP terhadap Ketua KPUD DKI memberikan kontribusi yang cukup efektif dalam perbaikan kualitas Pemilu Kada DKI putaran kedua. Sangsi tertulis DKPP mampu mendorong sikap KPUD untuk merapikan tertib administrasi DPT putarankedua. Bangsa Indonesia dalam kerangka Pemilu Kada DKI setidaknya telah memulai dari sebuah proses yang baik. Ekspektasi publik untuk mensukseskan Pemilu Kada cukup tinggi. Kehadiran lembaga DKPP dalam konteks perbaikan kualitas penyelenggaraan Pemilu amat berarti dan oleh karenanya bagaimanapun patut diapresiasi. DKPP diamanatkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara Pemilu dalam Pasal 111 ayat (3) ditugaskan menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu, dan melakukan penyelidikan, pemeriksaan, menyidangkan, hingga menetapkan putusan dan menyampaikannya secara terbuka pada publik. Pada ayat (4) DKPP secara kelembagaan berwenang memanggil penyelenggara pemilu yang diduga melanggar kode etik penyelenggara pemilu untuk memberikan penjelasan sekaligus memberi kesempatan pembelaan hingga menjatuhkan sangsi pada penyelenggara pemilu yang terbukti melanggar kode etik penyelenggara pemilu. Sebagai institusi baru dan merupakan bagian dari penegakkan kode etik penyelenggara Pemilu, DKPP di bawah kepemimpinan Jimly Ashhiddiqie ini sekurang-kurangnya telah berperan positif konstruktif. Fenomena wacana demokratisasi Pemilu Kada DKI memperlihatkan pada masyarakat di mana ada semangat baru dan kemauan kolektif membenahi kualitas demokrasi. Namun demikian, betapapun performa proses dan hasil Pemilu Kada DKI Jakarta dinilai banyak pihak berhasil, akan tetapi KPU, DPR, Pemerintah, dan Bawaslu tidak lengah apalagi terbuai. Karena keberhasilan Pemilu Kada DKI putaran kedua tidak lepas dari peran optimal pemantau pemilu juga kalangancivil society. Publik tidak boleh menafikan realitas sosial di mana kuatnya kesadaran masyarakat dalam Pemilu Kada DKI. ___________________________________ Penulis adalah Tenaga Ahli di DKPP dan Dosen Filsafat Agama di Universitas Islam As-Syafi’iyah Jakarta. Catatan: Tulisan ini dimuat di Koran Harian Kendari Ekspres dalam dua kali tulisan, tanggal, 15 dan 16 Oktober 2012

Rabu, 15 Agustus 2018

Prinsip Nilai-nilai Etika Dalam Tindakan

Prinsip Etika Dalam Tindakan Individu dan Sosial Oleh :Rahman Yasin (Tenaga Ahli Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) Etika ialah ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan. Pandangan ini secara normatif memberikan pengertian etika secara operasional yakni, etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah. Gejala atau lebih tepat kumpulan gejala yang dinamakan kesusilaan, moral atau etika dapat juga ditinjau secara lain. Setiap orang menghadapi masalah-masalah kesusilaan, yang barangkali, direnungkannya. Umpamanya, ia mendengar terjadinya suatu peristiwa bunuh diri yang sangat mengharukan; ia merenungkannya dan mempertanyakannya dalam hati, apakah bunuh diri itu sesungguhnya diperbolehkan. Jika ia melakukan hal semacam itu, maka ia telah berurusan dengan etika, meskipun hanya secara kebetulan, secara sepotong-sepotong atau secara sistematik, dengan pemikiran secara prailmiah. Juga masalah-masalah kesusilaan yang lain merangsangnya untuk merenungkannya; mungkin sekali ia memperbandingkan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dengan kesimpulan orang lain. Dapat terjadi bahwa ia menuliskan hasil pertimbangannya --- meskipun untuk sementara masih tidak begitu saling berhubungan secara longgar --- sedikit banyak bersifat aforistik. Kita memiliki berbagai kumpulan aforisma kesusilaan yang berasal dari Yunani Kuno. Ajaran-ajaran kesusilaan tersebut tercampur dengan nasihat-nasihat bagaimana manusia dapat mencapai hidup yang memuaskan. Yang membedakan etika dari segenap cara pendekatan mengenai masalah kesusilaan ialah, etika membahas masalah kesusilaan secara ilmiah. Ungkapan ini nanti akan menjadi jelas. Pernyataan yang menyebutkan etika sebagai ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan membawa akibat bahwa hendaknya dipilahkan antara etika dengan kesusilaan, yaitu sebagai obyek ilmu pengetahuan tersebut. Kiranya ada baiknya kita berpegang teguh pada pemilahan ini. Secara demikian, kita menggalakkan pemakaian bahasa yang murni dan menghindari terjadinya kerancauan pengertian. Sering terjadi, orang memakai kata-kata “etik” dan “susila” secara saling dipertautkan, yang satu dijumbuhkan dengan yang lain. Acap kali orang mengatakan “etik”, sedangkan yang dimaksudkan ialah “susila” atau bermoral. Orang berbicara mengenai manusia yang tinggi martabatnya ditinjau dari segi etik, perilaku etik, motif-motif etik, sedangkan yang seharusnya dipakai ialah kata-kata “susila”. Demikian pula kadang-kadang orang berbicara mengenai etika yang terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama atau etika yang terkandung dalam Khotbah Gunung, seolah-olah Injil mengandung ilmu pengetahuan, sedangkan yang dimaksudkan ialah moral yang terkandung dalam Injil. Pengetahuan kita tentang nilai-nilai dan norma dari etik bangsa Indonesia yang mula-mula hanya merupakan hasil rekonstruksi dari cara-cara hidup mereka sebelum muncul pengaruh budaya Hindu, Islam, dan Barat. Yang mempunyai arti adalah bagian terakhir dari masa Neolitik dan zaman Megalitik, karena dalam masa inilah munculnya kebudayaan yang tertentu tingkatnya. Mereka bukan lagi bangsa yang berpindah-pindah, cara kehidupan telah menunjukkan adanya organisasi masyarakat yang teratur. Gotong royong menjadi dasar hidupnya, sampai sekarang pun suatu pekerjaan besar di desa dilakukan secara gotong royong. Kepercayaan anisme dan dinamisme pada hakekatnya ialah untuk menjaga agar jiwa, semangat itu selalu merasa senang kepada orang yang menyediakan “sesuatu” (misalnya sesajian) dan untuk tidak menjadikannya marah. Sisa etik bangsa Indonesia yang mula-mula itu masih kita lihat sekarang pada berbagai upcara di dalam berbagai peristiwa hidup yang penting-penting, selamatan, penghormatan pada roh nenek moyang, dan sebagainya. Weihrich dan Koontz sebagaimana dikutip Nana Rukmana dalam bukunya Etika dan Integritas, mendefenisikan etika sebagai “the dicipline dealing with what is good and bad and with moral duty and obligation”. Secara lebih spesifik Collins Cobuild (1990: 480) mendefenisikan etika sebagai “an idea or moral belief that influences the behaviour, attitudes and philosophy of life of a group of people”. Oleh karena itu konsep etika sering digunakan sinonim dengan moral. Ricocur (1990) mendefenisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Dengan demikian, etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan. Menurut Azyumardi Azra (2012), etika juga dipandang sebagai karakter atau etos individu/kelompopk berdasarkan nilai-nilai dan norma-norma luhur. Dengan pengertian ini menurut Azyumardi Azra, etika tumpang tindih dengan moralitas dan/atau akhlak dan/atau social decorum (kepantasan sosial) yaitu seperangkat nilai dan norma yang bisa diterima masyarakat, bangsa dan negara secara keseluruhan. Dalam pengertian teoritik sebagaimana dikemukakan dalam pengertian di atas, maka etika sesungguhnya dapat dipahami sebagai wujud karakter setiap individu dalam melakukan suatu tindakan, apakah itu tindakan yang bersifat individu maupun dalam konteks kehidupan sosial. Etika lebih mengandung pengertian yang lebih spesifik di mana menggambarkan watak atau karakter seseorang yang menimbulkan refleksi sosial dalam konteks perilaku kehidupan bersama dalam suatu komunitas. Itulah sebabnya, pengertian etika dalam kajian ilmiah senantiasa dikaitkan dengan nilai-nilai kesusilaan. Kesusilaan memberikan gambaran bagaimana sikap dan tindakan setiap orang dalam kehidupan sosial. Kesusilan mengidentifikasikan perilaku yang setidaknya memberikan gambaran perilaku moral dalam pergaulan sosial. Maka etika memancarkan kebaikan perilaku seseorang sedangkan moral dan kesusilaan mencerminkan kebaikan sosial dari perilaku etik setiap orang. Khaerul Umam dalam bukunya Perilaku Organisasi (2010: 153) memberikan uraian mengenai pengertian etika dan moral dalam praktik kehidupan sehari-hari yang sekaligus membedakan kedua makna tersebut. Dengan menggunakan pengertian Solomon, Umam mengutipnya sebagai berikut: a. Etika pada dasarnya merujuk pada dua hal. (1) Etika berkenaan dengan disiplin ilmu yang mempelajari nilai-nilai yang dianut oleh manusia beserta pembenarannya. Dalam hal ini, etika merupakan salah satu cabang filsafat. (2) Etika merupakan pokok permasalahan dalam disiplin ilmu itu sendiri, yaitu nilai-nilai hidup dan hukum-hukum yang mengatur tingkah laku manusia. b. Moral, dalam pengertian umum menekankan karakter atau sifat-sifat individu yang khusus, di luar ketaatan pada aturan. Dengan demikian, moral merujuk pada tingkah laku yang bresifat spontan, seperti rasa kasih, kemurahan hati, kebesaran jiwa, dan sebagainya. c. Moralitas mempunyai makna yang lebih khusus sebagai bagian dari etika. Moralitas berfokus pada hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang abstrak dan bebas. Dalam sejarah peradaban manusia sejak abad ke-4 Sebelum Masehi, para pemikir telah mencoba menjabarkan berbagai corak landasan etika sebagai pedoman hidup bermasyarakat. Dalam hubungan itu, sedikitnya terdapat dua belas macam “ide agung” (great ideas) yang merupakan landasan moralitas. Great Ideas: a Syntopicion of Great Books of Western World” yang diterbitkan pada tahun 1952. Dalam buku Alder, dua belas gagasan atau “ide agung” tersebut diringkas menjadi enam prinsip, yang dapat dikatakan merupakan landasan prinsip dari etika. Prinsip-prinsip etika tersebut adalah (a) Prinsip keindahan (beauty), (b) Prinsip persamaan (equality), (c) Prinsip kebaikan (goodness), (d) Prinsip keadilan (justice), (e) Prinsip kebebasan (liberty), dan (f) Prinsip kebenaran (truth). Keenam prinsip etika tersebut secara gamblang memberikan suatu defenisi ilmiah yang juga merupakan secara umum menggambarkan perilaku etik dan moralitas setiap individu dalam kehidupan kolektif. Etika menekankan pada dimensi perilaku sedangkan moral memfokuskan pada tindakan-tindakan dalam praktik kehidupan sosial. Dengan demikian, etika merefleksikan tindakan pribadi seseorangan di dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai kehidupan bersama. Karakter atau kesusilaan dalam kehidupan bermasyarakat. Maka dalam kehidupan bersama, dimensi etik dan karakter atau kesusilaan ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial. Karakter dan kesusilaan mencerminkan sifat-sifat individu didalam mentaati aturan berupa hukum yang telah menjadi kesepakatan bersama. Hukum dibuat berdasarkan prinsip-prinsip etika, yang mana etika berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan yang merupakan ide dasar dari norma agama. Itulah sebabnya, dalam praktik kehidupan bersama, norma agama, norma hukum, dan norma etika tidak dapat dipisahkan, karena ketiga norma tersebut saling menopang, saling, memperkuat satu sama lain.